Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pligub DKI 2012: Pilih yang Pintar, Cerdas atau Kreatif

25 Maret 2012   09:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:30 431 1
Oleh :Atep Afia Hidayat - Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (DKI Jaya) sedang menjalani proses pergantian kepemimpinan. Siapapun yang kelak terpilih untuk menjadi penguasa DKI Jaya, tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Tak heran jika ada pakar politik yang mengatakan, bahwa Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI tahun 2012 ini seperti miniatur Pemilihan Presiden (Pilpres) RI tahun 2014. Saat ini aroma persaingan antar kubu calon gubernur (Cagub) makin mengental, beragam daya dan upaya dikerahkan baik oleh kandidat maupun tim sukses untuk menarik perhatian warga Jakarta.

Dari enam pasangan Cagub-Cawagub yang akan dipilih, empat pasangan berasal dari koalisi Parpol dan 2 pasangan independen. Keenam pasangan tersebut adalah Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, yang diusung tujuh parpol, yaitu Partai Demokrat, Hanura,  PDS, PKB, PBB, PMB, dan Partai Damai Kasih Bangsa (PDKB); Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) diusung PDIP dan Gerindra; Alex Nurdin dan Nono Sampono yang didukung Partai Golkar, PPP dan PDS; Hidayat Nurwahid dan Didi J Rachbini yang didukung PKS dan PAN. Dua pasangan lainnya dari jalur independen yang terdiri dari pasangan Faisal Basri dan Biem Benyamin serta Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria. Dari keenam pasangan tersebut, setidaknya dapat dikelompokan menjadi tiga tipe :

Pertama, Cagub-Cawagub yang pintar. Ditandai dengan sederet gelar yang diperolehnya, ada lulusan S3 (Doktor), bahkan ada Profesor. Orang pintar menguasai bidang tertentu secara mendalam, oleh sebab itu meraih gelar akademik tertinggi. DKI dipimpin oleh orang pintar tentu akan memberikan nuansa lain, di mana sisi pembangunan intelektual warga akan lebih meningkat. Apalagi kalau pasangan Doktor dan Profesor memimpin DKI, tentu akan menjadi catatan sejarah tersendiri di negeri ini. Lantas. Apakah Jakarta saat ini memerlukan orang pintar ? Ya, tentu saja, asalkan piawai dalam mengeksekusi keilmuan dan teori yang dikuasainya untuk mensejahterakan warga Jakarta.

Ada definisi yang menyebutkan bahwa kepintaran adalah kemampuan seseorang dalam menyerap informasi. Tatkala seseorang mampu menangkap dan menyerap ilmu pengetahuan dari berbagai sumber pebelajaran, maka dikatakan pintar. Namun banyak kasus menunjukkan, kepintaran berhenti sebatas kepintaran dan statis. Dalam banyak kasus juga terjadi, ternyata orang pintar memiliki segudang pengetahuan dibidang tertentu. Namun terkadang justru menjadi hambatan untuk sebuah proses pengambilan keputusan. Jika Pilgub DKI dimenangkan oleh tipe pintar-pintar maka ada peluang Pemda DKI akan diwarnai oleh kelambanan dalam pengambilan keputusan, karena untuk menarik kesimpulan atau mengesekusi sebuah kebijakan diperlukan pertimbangan dan landasan teori yang matang.

Kedua, Cagub-Cawagub yang cerdas. Dalam kelompok ini sama sekali tidak dipengaruhi oleh gelar akademik. Bagaimanapun untuk menjadi cerdas itu tidak ada kuliahnya. Ada yang menyebutkan, bahwa kecerdasan tak lain merupakan kemampuan mengelola kepintaran. Banyak kasus yang menunjukkan, ternyata orang yang sukses merupakan orang yang tidak terlalu pintar, namun memiliki kemampuan dalam mengelola orang pintar. Orang cerdas tahu persis siapa orang pintar yang cocok untuk setiap jenis pekerjaan tertentu. Sederhananya, jika mendadak ada kasus, orang pintar akan segera lari kepada ilmu, teori atau pengetahuan yang dikuasainya, sedangkan orang cerdas akan segera menggunakan pikiran kritis dan logikanya. Jika Pilgub DKI dimenangkan oleh tipe cerdas, maka akan muncul tata laksana pemerintahan yang logis dan kritis.

Ketiga, Cagub-Cawagub yang kreatif. Orang kreatif mememiliki kemampuan untuk membuat perbedaan. Biasanya tipe ini selalu tampil beda, lain daripada yang lain, bahkan agak nyeleneh. Orang kreatif selalu memandang segala sesuatu dengan pola berpikir yang berbeda. Seringkali dari perbedaan cara melihat dan pola berpikir ini muncul sesuatu yang baru. Jika Cagub-Cawagub yang terpilih dari kelompok ini (kreatif-kreatif), maka DKI akan diwarnai oleh bergam kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan diduga akan muncul berbagai kebijakan “aneh tapi nyata”. Apakah hal ini akan berdampak positif bagi masyarakat? Belum tentu, tergantung aspek keberpihakan dari kebijakan tersebut, apakah pro rakyat atau pro yang “lainnya”.

Ada pasangan yang berasal dari tipe yang sama, ada juga pasangan yang merupakan kombinasi dari dua tipe yang berbeda. Tentu saja kombinasi yang paling ideal adalah pasangan Cagub-Cawagub kreatif-pintar, pintar-kreatif, kreatif-cerdas, cerdas-kreatif, cerdas-pintar atau pintar-cerdas. Dalam hal ini sangat disayangkan keputusan salah satu Partai Politik (Parpol) terbesar di parlemen (DPRD) Jakarta, dengan memasangkan Cagub-cawagub (pintar-pintar), padahal peluang untuk menang sangat terbuka lebar. Idealnya Parpol tersebut mencari Cawagub dengan tipe kreatif untuk dipasangkan dengan Cagubnya, atau kebalikannya. Sementara di sisi lainnya ada Parpol yang mengusung pasangan tipe kreatif-kreatif. Padahal peluang menang cukup terbuka, mengingat sang Cagub yang saat ini begitu populer banyak diberitakan berbagai media cetak, elektronik dan online.

Tentu saja pengelompokan ini bersifat tidak mutlak dan hanya merupakan pendekatan yang dilakukan oleh penulis sendiri dengan sekian banyak kekurangan. (Atep Afia).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun