Oleh : Atep Afia Hidayat - Untuk memperkuat perekonomian Indonesia sehingga mandiri dan andal, sebenarnya harus terlebih dahulu memperkuat sector pertanian. Untuk mencapai posisi tangguh tersebut antara lain perlu didukung oleh pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seoptimal mungkin. Dengan dukungan Iptek maka nilai tambah yang diperoleh sektor pertanian dapat meningkat.
Salah satu bidang Iptek yang sebenarnya sudah sejak lama diterapkan dalam sektor pertanian ialah bioteknologi, namun penggunaannya belum intensif. Selain itu sebagian besar bioteknologi yang diterapkan justru merupakan teknologi impor, yang membutuhkan biaya besar untuk pengadopsiannya.
Di negara-negara industri maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika Serikat pemanfaatan bioteknologi telah sedemikian majunya, hingga kontribusinya terhadap perekonomian nasional cukup besar.
Bioteknologi tak lain merupakan suatu bidang penerapan biosains dan teknologi yang menyangkut penerapan praktis organisme hidup atau komponen subselulernya pada industri jasa, manufaktur dan pengelolaan lingkungan. John E.Smith dalam bukunya Biotechnology Principles mengemukakan, bioteknologi memanfaatkan bakteri, ragi, kapang, alga, sel tumbuhan atau sel jaringan hewan yang dibiarkan sebagai konstituen berbagai proses industri.
Penerapan bioteknologi yang berhasil hanya akan mungkin tercapai bila dilakukan pengintegrasian berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi seperti mikrobiologi, biokimia, genetika, biologi molekuler, kimia, rekayasa proses, dan teknik kimia.
Mengingat Indonesia merupakan Negara dengan wilayah banyak mengandung plasma nuftah, baik flora atau fauna, maka pengembangan bioteknologi sangat memungkinkan.
Beberapa produk khas seperti tempe, oncom, kecap, tauco dan tape merupakan penerapan bioteknologi yang sudah dilakukan sejak lama. Sebenarnya bangsa Indonesia sudah menerapkan bioteknologi kurang lebih mulai seabad yang lalu, namun dalam pengembangan lebih lanjut tertinggal oleh beberapa bangsa lainnya.
Sampai saat ini keberadaan sektor pertanian masih strategis, meskipun kontribusinya terhadap Produksi Domestik Kotor (GDP) terus menurun, namun ternyata masih menyerap sekitar 43 persen tenaga kerja (tahun 2009). Sementara sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20 persen, dan industri pengolahan 12 persen.
Nilai tambah dari sektor pertanian sangat rendah, hal itu menyebabkan posisi petani makin tertinggal dibanding pekerja atau pengusaha di luar sektor pertanian.
Nilai tukar petani (NTP) cenderung menurun tajam, terutama beberapa propinsi produsen beras utama di Indonesia. Kondisi tersebut disebabkan output sektor pertanian didominasi oleh barang primer yang memiliki nilai tambah rendah. Aplikasi dan pengembangan bioteknologi dibidang pertanian diharapkan dapat mendongkrak kondisi petani.
Lantas, apa yang dapat dilakukan petani dengan bioteknologi. Meninggalkan usaha tani padi digantikan dengan usaha jamur Agaricus atau budidaya jamur jepang shii-ta-ke ? Atau beralih usaha ke kultur jaringan, sebagai usaha pengadaan bibit tanaman secara cepat dengan jumlah banyak ? Kultur jaringan seluas 1 cm2 misalnya, berisi berjuta-juta sel yang masing-masing dapat ditumbuhkan menjadi tanaman baru.
Lantas, apakah petani di Indonesia memungkinkan untuk usaha tersebut. Berbagai kesulitan seperti modal, manajemen, peralatan dan teknologi perlu diperhatikan secara serius. Lain halnya dengan perusahaan agribisnis dan bioteknologi skala besar. Misalnya dalam pengembangan kultur jaringan mampu menghasilkan bibit kelapa sawit dengan tingkat produksi 10-12 ton per ha.
Sebenarnya di Indonesia telah hadir beberapa perusahaa menengah yang bergerak dalam kultur jaringan, namun yang dilakukan tak lebih dari sekedar “tukang jahit”, sebab sebagian besar teknologi, bahan dan peralatan justru didatangkan dari luar. Umpamanya dalam pengembangan kultur jaringan pisang cavendish, yang bibitnya untuk ditanam di Lampung, Maluku Utara dan beberapa daerah lainnya. Ternyata yang diterapkan adalah teknologi impor dengan hak paten yang dipegang oleh penemu. Sudah jelas nilai tambah yang diperoleh tidak optimal mengingat ongkos adopsi teknologi yang sangat mahal.
Sebenarnya Indonesia memiliki potensi lahan yang amat luas untuk pengembangan berbagai komoditi pangan. Sebagai contoh komoditi kopi, luas penanamannya di Indonesia sekitar 1,3 juta ha sekitar 96 persen di antaranya merupakan perkebunan rakyat yang didominasi oleh tanaman tua dengan produktivitas yang rendah, maka tak heran jika produksi pada tahun 2009 sekitar 683 ribu ton. Sebenarnya area dan tingkat produksi kopi Indonesia bisa dilipatgandakan, cara yang ditempuh antara lain melalui pengembangan bioteknologi dengan kultur jaringan tanaman kopi.
Pada tanaman kopi metode kultur jaringan telah terbukti dapat menghasilkan jenis baru berkualitas tinggi. Penelitian kultur jaringan tanaman kopi telah dimulai sejak tahun 1970 oleh seorang ilmuwan bernama Starisky, yang berhasil menumbuhkan kalus dari potongan ujung batang ortotrop Coffea Arabica, Coffea liberica, dan Coffea canephora dalam medium Lismaier dan Skoog. Dalam medium yang sama kalus dari potongan ujung batang Coffea canephora berkembang menjadi tanaman kopi.
Beberapa bagian tanaman yang berhasil dikulturkan ialah tangkai daun, daun, kulit biji, ujung batang dan antera. Selain dapat memperbanyak tanaman secara cepat, teknik kultur jaringan dapat mempertahankan keberadaan klon unggul dan terbukanya peluang penyilangan karena terjadinya pelipatgandaan kromoson. Jenis Coffea canephora dapat disilangkan dengan Coffea Arabica.
Bagi negara agraris seperti Indonesia yang memiliki keragaman flora dan fauna yang sangat tinggi, serta ketergantungan terhadap sektor pertanian yang amat besar, sebenarnya upaya pengembangan bioteknologi merupakan hal yang mutlak. Selain untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi dalam negeri juga untuk lebih memperkuat posisi di pasar dunia.
Dengan adanya globalisasi perekonomian dunia setiap komoditi asal Indonesia perlu diperkuat daya saingnya. Hal itu hanya dapat dicapai melalui pemanfaatan Iptek secara optimal, termasuk penggunaan bioteknologi yang meliputi kultur jaringan, rekayasa genetika, serta teknologi enzim dan fermentasi.
Dukungan pemerintah juga sangat diperlukan, antara lain melalui peningkatan sumberdaya dan sumberdana bagi lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang bergerak dalam bioteknologi. Upaya kearah itu memang telah ditempuh, umpamanya melalui Pusat Antar Universitas (PAU) bidang bioteknologi, yang produknya sebagian sudah go public.
Namun dalam hal ini yang menikmati hasi riset hendaknya tidak hanya terbatas pada pengusaha besar yang memiliki modal kuat, tetapi juga menjangkau petani dengan skala usaha kecil. Sewajarnya sedini mungkin petani dikenalkan pada bioteknologi tepat guna, tidak mahal tetapi memiliki kegunaan tinggi, memberikan nilai tambah sekaligus memperbaiki posisi petani. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).