Oleh : Atep Afia Hidayat - Ada orang-orang tertentu yang menganggap kehidupan ini diliputi jebakan-jebakan. Entah itu yang namanya dosa, nasib sial, kecelakaan atau kematian. Konon kematian merupakan jebakan terbesar, yang tak lain merupakan “sisi lain” dari kehidupan. Jadi kehidupan dan kematian seperti mata uang logam dengan dua sisinya. Begitu samar batas antara kehidupan dan kematian, setiap orangpun tak tahu, kapan hari “h”, jam “j”, menit “m” dan detik “d” nya. Hanya sebelum saat itu tiba, kita harus berbuat sesuatu, yakni supaya kita tidak merasa “terjebak”. Kehidupan ialah jiwa, rasa, obsesi, improvisasi, kompensasi, informasi, logika dan nalar. Begitu kompleks, hingga terbentuk semacam kekokohan dan ketegaran yang sebenarnya semu dan subyektif. Begitu banyak keformalan dalam kehidupan, hingga terkadang membentuk semacam obsesi dan persepsi yang seringkali keliru. Arena kehidupan itu tak langgeng dan sangat relatif. Lantas kenapa justru kebanyakan orang terjebak di dalamnya. Terjebak dalam berbagai aturan dan rutinitas, yang dianggapnya sebagai hukum dari kehidupan. Banyak regulasi tak tertulis, namun pengaruhnya begitu kuat, hingga dijiwai oleh banyak orang. Manusia telah membuat sejuta aturan, yang tanpa disadarinya juga menyesakkan kehidupannya. Lantas, aturan itu terwujud dalam kehidupan bermasysarakat, hingga terbentuklah apa yang dinamakan peradaban. Sedangkan peradaban itu senantiasa dalam proses perkembangan, sebab manusia selaku subyek sekaligus obyek tidak pernah statis. Manusia berimprovisasi sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Maka terjadilah stratifikasi sosial, hingga sebagian kecil menjadi kelompok yang berkuasa, serta sebagian besar justru menjadi kelompok yang dikuasai. Apakah hal tersebut merupakan hukum alam? Sebab tak mungkin semuanya menjadi penguasa, juga sebaliknya. Mau tidak mau setiap orang harus terjebak dalam sistem kuasa menguasai. Sebagian kecil manusia hidup “empuk” dan mengeksploitasi sebagian besar manusia lainnya. Sungguh, di Planet Bumi ini tak ada orang yang benar-benar netral dari sistem tersebut. Semuanya dihadapkan pada dua buah alternatif, di mana salah satunya harus dipilih, yakni menjadi penguasa atau menjadi yang dikuasai. Tinggal memilih, tetapi tidak sekedar memilih, harus terdapat semacam power yang tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, tetapi harus ada upaya yang sungguh-sungguh. Manusia merupakan mahluk sosial yang berkompetisi. Kompetisi tak lain dari semacam “Adu kekuatan”, dimana yang kuatlah yang akan keluar sebagai pemenang. Sedangkan kekuatan itu tidak sekedar fisik semata, juga meliputi segi lainnya seperti mental dan pikiran. Selain itu, ada yang dinamakan “keberuntungan” atau “nasib baik”. Bisa saja seseorang yang relatif lebih lemah bisa keluar sebagai pemenang. Tak lain karena keberuntungan itulah. Dalam hal ini berbagai kekuatan itu bersumber dan bermuara pada sumber segala kekuatan, yakni Allah yang maha kuat (Alqawiy). Setiap manusia selalu memimpikan kemerdekaan. Tak ada seorangpun yang merasa betah dalam kondisi terjajah, baik oleh individu lain maupun oleh dirinya sendiri. Ironisnya, justru sebagian besar manusia dijajah oleh dirinya sendiri, antara lain terkungkung oleh kekeliruannya dalam berpersepsi. Rasa, pikiran atau nalarnya sering keliru dan subyektif dalam menterjemahkan apa arti kehidupan. Dengan demikian, banyak orang telah terjebak dengan dirinya sendiri. Jelas sangat menghambat. Lantas, bisakah memerdekakan diri, membebaskan diri dari berbagai jebakan yang ada. Untuk itu memang tidak mudah, tetapi dapat diusahakan. (Atep Afia,
pengelola PantonaNews.com ) Sumber Gambar :
http://www.neighborhoodcats.org/uploads/Image/RESOURCES%20IMAGES/trap%20full%20lo%20res.jpg
KEMBALI KE ARTIKEL