Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Globalisasi dan Modernisasi Perusahaan

16 Juni 2011   05:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 880 0

Oleh : Atep Afia Hidayat - Globalisasi telah merambah semua bidang, termasuk bidang ekonomi. Hal tersebut menuntut langkah dan upaya antisipasi dari pada pelaku ekonomi. Perusahaan-perusahaan yang bergerak diberbagai bidang, mau tidak mau harus beradaptasi dengan tuntuan keadaan. Paling tidak, mengadakan berbagai pembenahan di semua bagian, baik sumberdaya manusia (SDM), keuangan, pemasaran, produksi atau penelitian dan pengembangan. Jika sebuah perusahaan lamban beradaptasi, sudah jelas akan tertinggal dan terkalahkan dalam kompetisi.

Dalam era globalisasi ekonomi kompetisi antar perusahaan semakin ketat, hanya yang survive-lah yang akan keluar sebagai kompetitor unggul. Untuk bersaing, tentu saja menuntut kesiapan seluruh bidang dalam perusahaan. Satu bidangpun tak boleh ada yang lemah.

Antar bidang dalam perusahaan berkaitan erat, membentuk sebuah sistem manajemen dengan kinerja tertentu. Sistem manajemen perusahaan merupakan perpaduan antara bagian atau komponen dalam perusahaan tersebut. Suatu sistem akan utuh hanya jika komponen-komponennya tetap utuh. Modernisasi sebuah perusahaan harus mencakup semua bagian yang dimilikinya.

Michael Beer, Russell A. Eisenstat dan Bert Spector, dalam bukunya The Critical Path to Corporate Renewal, antara lain mengemukakan konsep “3 C” dalam melakukan modernisasi perusahaan, yakni meliputi coordination, commitment dan competence. Untuk menghadapi kompetisi yang semakin seru, upaya peningkatan “koordinasi” antar bagian sangat diperlukan. Umpamanya antara bagian pemasaran dengan produksi.Bagian pemasaran jelas begitu mengenali selera pasar, melalui koordinasi dengan bagian produksi, tentu saja bisa merencanakan produk baru yang lebih marketable. Begitu pula di antara bagian-bagian lainnya.

Sedangkan “komitmen” berkaitan erat dengan upaya peningkatan motivasi kerja. Semua karyawan dari seluruh hirarki manajemen perlu menegaskan komitmennya terhadap tujuan dan program perusahaan. Penegasan komitmen tersebut tentu saja bukan sekedar slogan belaka, yang terpenting ialah kesungguhannya dalam bekerja makin meningkat. Hal itu akan dibuktikan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi perusahaan.

Produk yang dihasilkan makin berkualitas, sedangkan biaya produksinya relative menurun, hingga daya saingnya di pasaran terus meningkat. Hal itu akan memberikan dampak positif terhadap pekerja. Paling tidak adanya tambahan insentif atau makin dilengkapinya berbagai jaminan social. Idealnya sebuah perusahaan yang tumbuh dan bekembang, senantiasa memperhatikan “jasa” dari para “aktornya”. Jika hal itu sudah benar-benar direalisasikan, niscaya kasus perselisihan pekerja dan pengusaha tidak banyak terjadi.

Konsep yang terakhir, yakni “Kompetensi”. Hal ini menyangkut kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan pengetahuan dan keterampilan bisnis secara menyeluruh. Setiap “aktor” perusahan atau setiap pelaku bisnis hendaknya tahu dan memahami, juga menguasai apa yang sedang dan akan dilakukannya. Hal tersebut akan menentukan proses pengambilan keputusan lebih lanjut, termasuk dalam mengintensifikasi dan memecahkan bebagai masalah.

Sebagian besar perusahaan di Indonesia justru “berukuran kecil”. Hal itu bukan merupakan kondisi yang menguntungkan dalam menghadapi kompetisi global. Padahal untuk berkompetisi diperlukan “ukuran usaha yang besar”. Sebagaimana diketahui, bahwa rimba bisnis internasional cenderung dikuasi perusahan multinasional atau konglomerat manca negara.

Menghadapi kenyatan seperti itu, sudah tentu modernisasi perusahaan “ukuran kecil” harus lebih intensif dan ekstensif. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan kecil selayaknya melakukan kondolidasi, hingga membentuk “daya saing” yang lebih besar. Lantas, siapa yang berhak untuk mengkonsolidasikan perusahaan-perusahaan kecil tersebut?

Asosiasi pengusaha bisa lebih beperan melalui kerjasama dengan departemen atau isntansi terkait. Dalam hal ini, penerapan konsep “3-C” bisa lebih luas lagi. Faktor-faktor coordination, commitment dan competence (Koordinasi, komitmen dan kompetensi), bisa dikembangkan secara gotong royong. Selain itu, perusahaan “ukuran besar” pun bisa banyak berperan dalam upaya modernisasi perusahaan kecil, umpamanya melalui program “bapak angkat”.

Peningkatan ekspor migas dan nonmigas sangat tergantung pada performance dan power perusahaan-perusahaan. Baik yang bergerak di bidang produksi, pembiayaan (finance), pemasaran atau pengapalan. Mitra bisnis di negara tujuan ekspor hanya memilih perusahaan yang benar-benar bonafide. Apalagi masyarakat Uni Eropa dan blok Amerika Utara yang makin selektif, hingga komoditi “pendatang” semakin mendapatkan perlakuan yang ketat. Berbagai persyaratan ditetapkan, juga disertai dengan “aturan main” yang pelik.

Belakangan ini persyaratan komodit ekspor dikaitkan dengan masalah pencemaran lingkungan. Apakah dalam proses produksinya mencemari ligkungan atau tidak, dan hanya produk yang tidak mencemari lingkungan (bebas polusi) yang bisa masuk ke Negara-negara tersebut. Dengan kata lain, produk tersebut harus environment friendly, milieu vrienelijk atau umwelt fruendlich (bersahabat dengan lingkungan). Khususnya di Jerman, gerakan tersebut telah dikukuhkan dengan label blue angel.

Itulah kenyataan, “aturan main” dalam bisnis internasional semakin ketat dalam penerapannya. Perusahaan-perusahaan di dalam negeri seharusnya bahu-membahu, terutama guna menghadapi pesaing-pesaing berat yang juga menghasilkan komoditi serupa. Langkah moderniasai perusahaan tidak bisa ditunda lagi, tak lain supaya dalam era globalisasi dapat berkiprah secara maksimal. Globalisasi memang menuntut berbagai kesiapan, jika lalai sedikit tentu akan “terhempas”, antara lain akan kehilangan pasar dan reputasi. Padahal, untuk produk-produk tertentu sudah memiliki “nama baik”, made in Indonesia. (Atep Afia)

Sumber Gambar:

http://www.work-a-holic.narod.ru/first.jpg

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun