Oleh : Atep Afia Hidayat - Dahysat ! Luar biasa, itulah dampak dari perilaku para koruptor. Bukan hanya menghambat berbagai program pembangunan untuk kemajuan bangsa dan Negara, bahkan koruptor bisa membuat Negara bangkrut !
Negara bangkrut artinya berbagai tatanan ekonomi, sosial, politik, hukum, pertahanan, keamanan dan beragam aspek kehidupan berbangsa dan lainnya mengalami disfungsi. Negara bangkrut karena sistem birokrasi mrngalami gangguan kronis. Bayangkan, bagaimana jadinya jika sekitar sepuluh persen dari pengelola Negara atau aparatur Negara terlibat tindak pidana korupsi (Tipikor) ? Bagaikan tubuh manusia yang sekitar sepuluh persen organnya tubuhnya mengalami gangguan, maka tubuh itu pun dikatakan sakit. Makin banyak koruptor maka makin parah kondisi “kesehatan” Negara.
Virus korupsi menggerogoti hampir semua “organ” pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Virus korupsi bekerja siang malam, menunggu saat-saat lengah, bahkan di tengah pengawasan ketat. Tak ada istilah kapok atau jera, sepanjang ada peluang virus terus bekerja non-stop. Bahkan korupsi itu seperti kanker yang menyebar dengan cepat, menginvasi satu sel demi satu sel, satu jaringan demi satu jaringan, satu organ demi satu organ, hingga akhirnya tubuh itu penuh kanker.
Lantas, adakah semacam antibiotik untuk menghambat laju serangan virus korupsi ? Untuk mencegah kebangkrutan Negara sebenarnya beragam antibiotik sudah dikembangkan, mulai dari pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembuatan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya. Pokoknya berbagai “senjata pamungkas” untuk membasmi korupsi sudah disiapkan. Namun hasilnya masih sangat tidak memuaskan, berbagai kasus korupsi semakin menjadi-jadi. Para koruptor semakin merajalela dengan kualitas dan kuantitas kejahatan yang makin meningkat.
Untuk memberantas “hama” korupsi seharusnya dilakukan secara kontak dan sistemik, dengan “pestisida” yang paling beracun. Secara kontak artinya efek jeranya harus muncul secara langsung. Seperti hama yang menyerang tanaman, begitu disemprot pestisida langsung mati. Proses pemberantasan berlangsung cepat dan hasilnya langsung terlihat. Nah, mungkinkah bagi koruptor kelas berat diberlakukan hukuman mati ? Sedangkan pemberantasan secara sistemik lebih kepada upaya preventif dengan cara memperkecil berbagai peluang terjadinya korupsi. Upaya seperti meningkatkan pengawasan dan pendidikan anti korupsi, merupakan langkah pemberantasan korupsi secara sistemik yang membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Korupsi merupakan penyakit kronis yang bisa terjadi di Negara manapun. Namun Indeks Persespsi Korupsi (IPK) setiap Negara berlainan, mulai dari sekala nol untuk Negara terkorup dan 10 untuk Negara terbersih. Berdasarkan laporan Transparency International tahun 2010, IPK Indonesia 2,8. Berada di atas Vietnam 2,7, Filipina 2,4 dan Myanmar 1,0. Namun jauh di bawah Singapura 9,3, Brunei Darussalam 5,5 dan Malaysia 4,4. IPK Indonesia membaik jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, contohnya 1999 hanya 1,7.
Dari angka-angka tersebut memang ada upaya yang serius untuk memberantas korupsi. Namun aspek penghambat (inhibitor) upaya pemberantasan korupsi pun begitu kentara, misalnya dengan “membonsai” keberadaan KPK. Tak dapat dipungkiri ada “tangan-tangan besar” dalam kekuasaan Negara yang berupaya “menge-rem” laju pemberantasan korupsi. Bagaikan laju kendaraan yang pengemudinya tidak konsisten, antara menginjak rem dan gas tidak menentu, maka upaya pemberantasan korupsi pun menjadi seperti jalan di tempat. Quo vadis “Sang Pengemudi Negara” ? (Atep Afia).
Sumber Gambar:
http://www.mandailingonline.com/wp-content/uploads/2010/09/pin-anti-korupsi2.jpg