Oleh :
Atep Afia Hidayat - Seandainya saya jadi Mendiknas maka salah satu program prioritas ialah menghentikan Ujian Nasional (UN). Kenapa ? Ya, UN dianggap lebih banyak mudlaratnya daripada manfaatnya. UN menyebabkan semacam "keresahan nasional" tidak saja bagi kalangan siswa, tetapi juga bagi guru, kepala sekolah dan orang tua siswa. Sudah sedemikian parahnya kualitas penyelenggaraan UN, sehingga perlu melibatkan aparat kepolisian. Aneh tapi nyata, polisi bertugas dalam mengamankan dan menertibkan pelaksanaan UN. Tahun ini (2011), pemerintah melibatkan polisi tak hanya dalam penjagaan distribusi soal ujian nasional (UN), tetapi juga dalam pengawasan di sekolah. Mereka nantinya akan berpakaian preman. (kampus.okezone.com). Faktor kebocoran dan kecurangan menjadi penyebab kehadiran aparat keamanan di tengah pelaksanaan UN. Kehadiran polisi dalam UN karena krisis kejujuran dalam dunia pendidikan kita. Inilah kondisi mutakhir di "negeri bingung", ada peserta ujian yang curang, ada pengawas ujian yang membocorkan, ada sekolah yang "mal-praktek" dan "mal-edukasi". Bagaimanapun, tingkat kelulusan siswa peserta UN dianggap berpengaruh terhadap "mutu" sekolah dan "kinerja" kepala sekolah, maka langkah "sim-sala-bim" pun banyak ditempuh pada UN tahun-tahun yang lalu. Penyelenggaraan UN memang terkesan dipaksakan, hanya demi sebuah "standar nasional". Padahal kalau mau jujur, standar setiap sekolah sangat beragam, dari A sampai Z berikut kombinasinya. Jangankan lintas propinsi, antar sekolah dalam satu kecamatan saja bisa berbeda. Kenapa harus memaksakan UN, toh dengan Ujian Lokal (UL) saja masih memadai. Sebenarnya yang lebih tahu kualitas akademik seorang siswa ya guru-guru yang mengajarinya, bukan kepala dinas pendidikan atau Mendiknas sekalipun. Bapak dan ibu guru telah sekian lama mengasuh para siswa-nya, sudah tentu memiliki hak untuk menguji dan meluluskan atau tidak meluluskan anak didiknya. Berikanlah otonomi pendidikan pada setiap sekolah, pemerintah cukup mengatur garis besar kebijakannya saja. Hal yang lebih urgen dari proses pendidikan ialah pencapaian kualitas akademik, keahlian dan karakter peserta didik. Sekolah adalah semacam "kawah candradimuka" untuk "penggodokan" para siswa, sehingga dihasilkan lulusan yang siap berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, bangsa, bahkan bangsa-bangsa. Sekolah adalah tempat untuk "pendewasaan diri", "pengembangan diri" dan "penguatan diri", ritual UN saat ini sepertinya bertolak belakang dengan hal-hal tersebut. UN menyebabkan sebagian siswa "hilang kendali", "kurang percaya diri", bahkan "depresi". Sepintar dan semampu apapun seorang siswa kalau saat ujian ditunggui polisi, pikirannya tidak akan berkembang, bahkan pribadinya menjadi ciut. Apalagi dengan begitu gencarnya pemberitaan menyangkut penyimpangan UN di berbagai media cetak dan elektronik. Marilah kita berpikir jernih, jangan sampai ritual UN justru mengkerdilkan mental-intelektual generasi muda bangsa. Tidak usah terlalu dipaksakan, setelah menyelasikan jenjang studinya, para siswa akan menghadapi ujian atau test masuk sekolah yang lebih tinggi, baik masuk SMP, SMA/SMK/MA atau perguruan tinggi. Daripada menggunakan NEM "abal-abalan", lebih baik diseleksi berdasarkan standar dan daya tampung sekolah yang dituju. Daripada repot dengan persoalan UN, semestinya Kementerian Pendidikan Nasioanl lebih memperhatikan upaya peningkatan kualitas guru di semua jenjang pendidikan. Salah satu parameter kualitas guru yang belum begitu baik ialah begitu marak dan lakunya bimbingan belajar (Bimbel), tidak saja di kota-kota besar, tetapi sudah merambah ke kota kecamatan. Logikanya, kalau gurunya baik dalam mengajar, sebenarnya tidak perlu ikut Bimbel. Teramat sulit dipahami, jika di sekolah belajar Matematika ber-jam-jam, kenapa harus ikut Bimbel Matematika yang ber-jam-jam juga. Cape dehh ! Selama ini upaya peningkatan kualitas guru memang sudah dijalankan, antara lain dengan menyekolahkan para guru ke strata pendidikan yang lebih tinggi, sertifikasi guru, dan sebagainya. Namun kualitas program masih belum memuaskan, masih banyak penyimpangan dan "kenakalan" dalam pelaksanaannya. Ada kesan terlalu "kejar target" bukannya "kejar kualitas". Dalam hal ini aspek kuantitas cenderung lebih dikedepankan, buat apa jika seluruh guru bergelar S2 atau S3, namun lulusan sekolah masih begitu-begitu juga. Sebenarnya banyak guru yang memiliki idealisme dan dedikasi yang tinggi, nah selayaknya guru-guru yang seperti ini lebih difasilitasi untuk dijadikan pionir bagi rekan-rekannya. Yang lebih penting bagi para siswa sebenarnya bukan Bimbel (yang pelajarannya sama persis dengan di sekolah), tetapi mengikuti kursus-kursus keahlian tertentu. Bisa berupa kursus alat musik, bahasa asing tertentu (selain yang ada di sekolah), teknologi informasi, otomotif, elektronik, robot, desain, agribisnis, pertamanan, vertikultur, bonsai, menulis, teater, broadcasting, film, kuliner, kewirausahaan dan sebagainya. Sehingga sejak muda sudah dibekali dengan skill tertentu, yang memungkinkan menjalani kehidupan dengan lebih mandiri. Nah. semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi Mendiknas dan seluruh jajarannya di Indonesia. Bagaimanapun, kualitas pendidikan sangat menentukan "nasib" bangsa. (Atep Afia, pengelola
www.pantonanews.com) Sumber Gambar:
http://marliaro.files.wordpress.com/2010/11/karikatur-ujian-nasional.jpg?w=300&h=285
KEMBALI KE ARTIKEL