Menang, kemenangan, itulah yang dirindukan Bangsa Indonesia. Setelah sekian ratus tahun "dikalahkan" bangsa lain melalui apa yang namanya "penjajahan". Kemudian setelah merdeka pun masih tetap menjadi bayang-bayang bangsa lain, tetap dikalahkan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, budaya, termasuk olah raga. Dalam sejarah peradabannya Bangsa Indonesia pernah memiliki superioritas, dan era kejayaan itu kini makin didambakan semua anak bangsa.
Bangsa Indonesia yang besar (bangsa terbesar ke-empat di dunia, berdasarkan jumlah penduduk, setelah Cina, India dan Amerika Serikat) merindukan kemenangan. Kini makin menyadari keberadaannya di tengah-tengah bangsa lainnya. Dalam pergaulan intermasional, bangsa Indonesia memang terkesan belum banyak mengambil peranan penting.
Keberadaannya acap kali dikesampingkan bangsa lainnya, termasuk bangsa-bangsa yang menjadi tetangga. Bangsa Malaysia, Bangsa Singapura, Bangsa Vietnam, Bangsa Laos, Bangsa Kamboja, Bangsa Filipina, Bangsa Thailand, Bangsa Timor Leste dan Bangsa Australia adalah bangsa-bangsa tetangga yang populasinya jauh lebih kecil. Bicara kuantitas Bangsa Indonesia adalah bangsa terbesar di kawasan Asia Tenggara dan Australia. Sudah semestinya secara kualitas pun Bangsa Indonesia menjadi yang terbesar.
Belajar dari Malaysia
Bangsa Malaysia yang menjadi "adik serumpun" sepertinya menjadi bangsa yang ingin menunjukkan superioritasnya atas Bangsa Indonesia yang menjadi "abang serumpunya". Sebagai bangsa terdekat, Bangsa Malaysia merupakan bangsa yang paling sering "menggoda". Beberapa kasus menyangkut hubungan diplomatik, masalah perbatasan dan klaim kebudayaan sering terjadi. Penyelesaiannya pun ber-larut-larut, bahkan seperti tak pernah tuntas.
Memang tak dapat dipungkiri, "adik serumpun" itu lebih piawai dalam mengelola sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya. Dengan luas wilayah 330 ribu km2 dan jumlah penduduk 28 juta jiwa, pada tahun 2008 menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) 222 milliar dollar AS, atau sekitar 8.140 ribu dollar AS per kapita. Pada saat yang hampir bersamaan Bangsa Indonesia, dengan luas wilayah 1.905 ribu km2 dam jumlah penduduk 230 juta jiwa, menghasilkan PDB 511 miliar dollar AS, atau dengan PDB per kapita baru sekitar 2.200 dollar AS.
Dengan mengacu pada PDB nasional, memang Bangsa Indonesia lebih kaya dibanding Bangsa Malaysia, sekitar 2,3 kali lipat (511 miliar dollar AS : 222 miliar dollar AS) . Namun karena jumlah penduduk Indonesia yang jauh lebih banyak, sekitar 8,2 kali lipat ( 230 juta jiwa : 28 Juta jiwa), maka jumlah pembagi kue PDB itu jauh lebih banyak, sehingga perolehan per penduduk (per kapita) menjadi jauh lebih kecil. Penduduk Malaysia memiliki pendapatan sekitar 3,7 kali lipat penduduk Indonesia (8.140 dollar AS : 2.200 dollar AS).
Dengan kondisi yang demikian, maka tak heran sekitar 2 juta penduduk Indonesia ikut berebut kue PDB di Malaysia, sebagai TKI di berbagai sektor, mulai dari rumah tangga, konstruksi, perkebunan, dan sebagainya, baik secara legal atau ilegal.
PDB per kapita hanya menunjukkan rata-rata pendapatan nasional dibanding jumlah penduduk, hal itu sama sekali belum menunjukkan aspek distribusi dan pemerataan. Meskipun PDB per kapita mencapai 2.200 dollar AS, namun terjadi kesenjangan yang sangat mencolok pada Bangsa Indonesia. Misalnya baru-baru ini Majalah Forbes mengungkapkan ada orang Indonesia yang memiliki kekayaan sampai 11 miliar dollar AS. Di sisi lainnya banyak orang Indonesia yang tidak memiliki kekayaan, bahkan menurut informasi dari beberapa stasiun swasta nasional masih ada yang tinggal di kandang ayam, gua dam di atas pohon. Sebenarnya orang Indonesia yang masih tunawisma masih cukup banyak.
Inefisiensi Bangsa
Bangsa Indonesia memiliki "harta karun" jauh lebih banyak dibanding Bangsa Malaysia. Untuk wilayah daratan sekitar 5,8 kali lipat (1.905 ribu km2 : 330 ribu km2), wilayah lautan jauh lebih besar lagi. Kekayaan sumberdaya alam Bangsa Indonesia seharusnya dikelola untuk memperbaiki kemakmuran seluruh anak bangsa, bukan hanya memperkaya segelintir orang.
Aspek pengelolaan SDA dan SDM menjadi sangat penting. Dengan pengelolaan yang lebih serius, sebenarnya Indonesia bisa naik peringkat menjadi negara berpenghasilan menengah (lower middle income country). Selain itu, jumlah penduduk miskin pun akan makin menyusut. Persoalannya, pengelolaan SDA dan SDM terkesan sangat tidak efisien dan disertai korupsi yang semakin merajalela. Korupsi jelas merupakan faktor inhibitor bagi semua upaya meningkatkan kemakmuran bangsa. Korupsi sudah mewarnai birokrasi di Indonesia. Kolusi kerap mewarnai interaksi dunia usaha dengan pemerintah. Hal tersebut jelas menyebabkan upaya pengelolaan bangsa menjadi kedodoran, sehingga makin tertinggal bangsa lainnya. Bangsa Indonesia mengalami inefisiensi.
Dalam sejarah peradabannya, Bangsa Indonesia pernah menunjukkan superioritasnya, mulai dari jaman Majapahit, Sriwijaya, Samudra Pasai, Kesultanan Banten, Bugis- Makassar, dan sebagainya. Sudah saatnya momen kebangkitan itu segera hadir kembali, yang menjadi kunci dan faktor penentu ialah adanya pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa. Kapan era itu akan tiba ? (Atep Afia)