Namun, Ibu Yani adalah lebih dari sekadar ibu rumah tangga. Dia adalah lambang ketabahan dan kesabaran bagi setiap keluarga di Desa Wono yang berjuang melalui keterbatasan hidup. Matanya yang tajam mampu melihat kebutuhan tiap warga di RT 03, tempat di mana ia telah lama menetap. Setiap langkahnya di desa itu mengandung kebijaksanaan dan kasih sayang, membuatnya menjadi figur yang dihormati di kalangan tetangganya.
Di sisi lain, Pak RT, seorang pemimpin di RT 03, tampil sebagai pilar keamanan dan ketertiban. Wajahnya yang berkerut menunjukkan bahwa dia telah banyak melalui berbagai dinamika kehidupan. Namun, di balik senyum ramahnya, tersembunyi keputusan kontroversial yang akan menggoyahkan fondasi kepercayaan di Desa Wono.
Ketika program bansos diumumkan, warga desa bersuka cita, berharap akan adil dan merata. Namun, nasib berkata lain bagi keluarga Ibu Yani. Dalam kediamannya yang sederhana, ia menjadi perwakilan dari keluarga-keluarga yang tidak mendapat bagian dari kebaikan pemerintah.
Dalam kepolosan tangannya yang seringkali berkeringat mengurus rumah tangga, Ibu Yani menjadi perwakilan dari keluarga-keluarga di Desa Wono yang setia menunggu bantuan bansos dari pemerintah. Seiring dengan itu, Pak RT, seorang pemimpin di RT 03, tampak sebagai sosok yang dihormati, bertanggung jawab atas distribusi bansos di desa tersebut. Namun, nasib berkata lain ketika program bansos yang digadang-gadang akan adil dan merata malah di luar prediksi masyarakat RT 03. Ada beberapa KK yang tidak dapat bansos dan salah satunya adalah keluarga Ibu Yani. Pembagian di sana tidak merata ada beberapa KK yang sudah pindah dan berganti KK tetapi masih dapat dan para pendatang pun juga mendapatkannya. Sedangkan warga asli daerah tersebut dan sudah lama tinggal disana pun tidak di prioritaskan.
Ketegangan mulai memuncak di Desa Wono ketika harapan akan distribusi bansos yang adil dan merata mulai menemui jalan buntu. Pak RT, dengan wewenangnya, telah mengambil keputusan yang mengejutkan banyak pihak. Beberapa bagian dari bantuan sosial, yang seharusnya menjadi hak bagi warga RT 03, secara misterius dialihkan ke luar daerah. Alasan di balik keputusan ini tetap kabur, meninggalkan ruang bagi spekulasi dan kecurigaan.
Warga Desa Wono, yang selama ini hidup dalam kesederhanaan dan kebersamaan, tiba-tiba dihadapkan pada sebuah realitas pahit. Bansos yang seharusnya menjadi titik terang dalam kehidupan mereka, kini menjadi sumber kegelisahan dan ketidakpercayaan. Ibu Yani, yang dikenal sebagai sosok yang sabar dan penuh kasih sayang, merasakan ketidakadilan ini lebih dari siapa pun. Sebagai salah satu keluarga yang paling membutuhkan, ketiadaan bansos di rumahnya bukan hanya soal kekecewaan, tetapi juga soal bertahan hidup dan masalah perut.
Desas-desus tentang penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan mulai beredar, memecah belah kesatuan warga Desa Wono. Pak RT, yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan keamanan, kini dilihat sebagai akar permasalahan. Warga mulai mempertanyakan integritas dan kepemimpinannya, menimbulkan ketegangan yang semakin lama semakin sulit untuk diredam.
Ibu Yani, yang dikenal karena kepeduliannya terhadap tetangga dan komunitas, merasa terpanggil untuk bertindak. Namun, dengan keterbatasan yang ada, ia merasa kehilangan arah. Bagaimana mungkin sebuah program yang dirancang untuk membantu yang membutuhkan malah menjadi sumber penderitaan? Konflik ini bukan hanya soal bansos lagi, tetapi soal kepercayaan dan keadilan dalam masyarakat. Desa Wono, yang dulunya merupakan lambang keharmonisan, kini terancam oleh keputusan semena-mena yang menguji tali persaudaraan mereka.
Suatu hari, ketegangan mencapai puncaknya ketika Bu Yani menyadari bahwa keluarganya adalah satu-satunya yang tidak mendapatkan bansos di RT tersebut. Warga yang sebelumnya tidak terdaftar dalam pengumuman telah di usahakan untuk mendapatkan bansos dan akhirnya mendapat undangan, namun tidak dengan Ibu Yani. Dengan hati yang berat, ia mencoba untuk memastikan kebenaran dengan bertanya kepada seluruh warga RT 03. Namun, jawaban yang diterimanya hanya menambah deretan pertanyaan di benaknya.
Dengan wajah yang penuh kecewa, Bu Yani merenungkan keputusan Pak RT yang menyebabkan dirinya dan keluarganya terpinggirkan. Ia merasa tidak dihargai dan tidak diperhatikan, meskipun telah lama menjadi bagian dari desa ini. Baginya, bansos bukan hanya sekadar bantuan, tetapi juga tanda kepedulian dan keadilan bagi setiap warga.
Ketidakadilan yang terungkap membuat Bu Yani meradang. Dalam pertemuan seluruh warga, ia tanpa ragu menyuarakan kekecewaan dan ketidakpuasannya. Suara gemuruh protesnya memenuhi ruang pertemuan, menciptakan atmosfer yang terbebani oleh rasa ketidaksetujuan. Di tengah-tengah kerumunan, Bu Yani dengan tegas menyampaikan bahwa dirinya dan keluarganya adalah satu-satunya yang tidak mendapatkan bagian dari bansos tersebut, sementara warga baru di RT tersebut justru mendapatkan jatah. "Jangan macam-macam kalau soal perut Pak!"Kata-kata yang dilontarkan Bu Yani ke Pak RT.
Kemarahan Bu Yani meletus seperti letusan gunung berapi yang lama terpendam. Dalam kata-katanya yang tajam, ia menggugat keadilan dan integritas Pak RT. Ia merasa tidak dihargai sebagai warga yang telah lama berkontribusi pada kehidupan desa. Warganya yang merasakan ketidakadilan pun mulai memberikan dukungan kepada Bu Yani. Kehadirannya yang terus terang dan tegas menciptakan gelombang perlawanan, merubah suasana yang semula hening menjadi panggung konfrontasi yang tak terelakkan. Desa Wono, yang dulu dikenal akan kebersamaan, kini terguncang oleh bansos yang tidak tepat sasaran.