Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Food Estate atau Forest Extinction, Mana yang Lebih Dulu?

15 Januari 2022   21:30 Diperbarui: 15 Januari 2022   21:33 186 1
Usaha menarik perhatian masyarakat dengan berbagai program kerja yang terlihat menarik dan down to earth saat ini menjadi capaian utama dari pemerintah. Mulai dari program blusukan ke berbagai daerah, hingga penyejahteraan masyarakat dari berbagai aspek. Salah satu upaya yang cukup kontroversial  ialah penegakan program lumbung pangan di seluruh Indonesia, terutama di daerah Kalimantan Tengah. Program Food State atau Lumbung Pangan dicanangkan Pemerintah dengan klaim sebagai antisipasi ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Pada tahap awal, pemerintah menargetkan 1,4 juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah untuk ditanami tanaman pangan dan holtikultura. Pemerintah mengklaim Food Estate bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah pangan, padahal tidak. Produksi pangan yang menghancurkan biodiversitas lewat deforestasi dan corak tanam seragam (monokultur) hanya akan memperparah krisis ekologi dan bisa berujung kerentanan pangan.

Apa itu Food Estate?
Dilansir dari Indonesiabaik.id , Food Estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Dalam program ini, Kementerian Pertanian bersama dengan Pemda Merauke akan memberdayakan lahan-lahan yang belum digarap dengan potensial, untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan.

Lantas, apa yang menjadi permasalahan utama dari pengadaan Food Estate?
Dalam konsepnya, food estate ini memang dicanangkan dengan penggunaaan lahan yang belum digarap, yang dirasa potensial, pada daerah tertentu. Nyatanya, dibandingkan memanfaatkan lahan potensial belum dimanfaatkan, pemerintah justru memilih untuk membuka hutan untuk dijadikan wilayah pengadaan Food estate ini. Dilansir dari jpnn.com, Direktur Perlindungan dan Perluasan Lahan (PPL) Kementan, Indah Megawati menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi raksasa lahan tidur seluas 33,4 juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut 20,1 juta hektare dan rawa lebak 13,3 juta hektare. Dengan bantuan sarana dan prasarana itu, lahan tidur bisa dibangunkan. Dari jumlah tersebut, seluas 9,3 juta hektare diperkirakan sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya pertanian. Dengan lahan seluas itu, lantas mengapa pemerintah harus membuka hutan untuk mendapatkan lahan baru tersebut? Padahal, ada beberapa resiko yang terjadi apabila pemerintah melakukan pembukaan hutan sebagai tempat pengadaan Food estate ini, diantaranya


Pembukaan hutan menjadi lahan terbuka akan menjadi pemicu timbulnya deforestasi.  Luas deforestasi Indonesia antara 2001-2019 berkisar 500 ribu hektare. Pada 2019, tutupan hutan primer tersisa sekitar 86 juta hektar, atau berkurang sekitar 9,6 juta hektar sejak 2001. Hilangnya tutupan hutan primer ini dipicu oleh sejumlah aktivitas pembangunan dan investasi. Penyumbang terbesarnya adalah aktivitas konversi hutan menjadi lahan perkebunan monokultur seperti perkebunan kayu akasia dan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan food estate ini semakin membuka peluang deforestasi, pasalnya lokasi proyek ini akan berada di luar izin perkebunan sawit yang telah ada saat ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun