Saya pikir tidak menjadi persoalan bilamana, politik menjadi konsumsi publik. Toh, dahulu salah satu kiat kuat reformasi juga menginginkan keterbukaan atas apapun yang melibatkan rakyat, tanpa terkecuali dengan keterbukaan perkembangan politik menjadi bagian yang diperjuangkan.
Jika dahulu, promosi media terikat pada kepentingan pemerintah yang berkeinginan langgeng dengan bahtera kekuasaan. Maka sekarang, melalui media-media merdeka, siapapun berkesempatan tampil di monitor media, mempresuasi publik untuk menjadi followersnya. Ya.. Tentunya, masyarakat terpojok dikampung yang masih tradisional pun turut serta menjamahnya. Sebab, hampir semua dari kita tiap harinya berselancar mengarungi Indonesia bahkan Dunia, hanya dengan scroll layar handphone genggam.
Namun, sekarang ini sesuatu yang kita anggap baik yang digunakan berlebihan, memungkinkan timbul keburukan darinya. Sebagaimana keterbukaan informasi publik yang baik menurut kita pada tahun sebelum reformasi. Sedangkan sekarang saya anggap terlalu over open, sehingga selain dari bertumpuknya berita hoax yang meresahkan, juga pemberitaan yang membelah masyarakat.
Realita terjadi space yang memungkinkan perpecahan antar kelompok masyarakat sekarang ini semakin potensial. Hal ini dipicu oleh karena perbedaan pandangan politik. Lucunya lagi, pada masyarakat tradisional di perkampungan, saya menilai ada prinsip bahwa oleh karena ada perbedaan pandangan politik antar mereka, menjadi keharusan untuk menjaga jarak untuk tidak saling ketemu dan bertamu. Ironinya lagi, kita temui antar mereka tidak saling menyapa oleh karena perbedaan pandangan politik. Very Fun sih bagi saya.
Lantas bagaimana perpecahan itu bisa terjadi? Dan bagaimana solusinya?Perpecahan antar mereka dapat terjadi oleh karena dua faktor yakni, Faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal bisa kita batasi sebagai faktor yang timbul dari dalam diri individu masing-masing, yang berpengaruh pada respon yang diberikan pada suatu permasalahan (untuk kasus ini). Banyak sekali faktor internal yang tidak bisa saya uraikan. Ada faktor usia, gender, emosional dll. Namun salah satu yang relevan menurut saya, yakni faktor pendidikan.
Sampai sekarang, pendidikan diyakini sebagai jalan untuk menjawab rata-rata persoalan dalam masyarakat. Salah satunya yang paling sering digaungkan yakni, melalui pendidikan masyarakat dapat terselamatkan dari jeratan kemiskinan.
Namun, tidak terkecuali juga pada sektor lain terkhusus pada pencegahan perpecahan ditengah perkembangan politik yang terlampau meresahkan. Sebagian dari kita sulit membedakan mana informasi yang valid dan hoax yang mengadu domba. Itulah, yang membuat pendidikan selalu punya peran filter atas informasi yang beredar.
Bagi saya, rasionalitas dalam berfikir sebelum bertindak menjadi syarat yang harus dilalui prosesnya. Proses tersebut, rata-rata (tapi tidak semua) diperoleh dari kursi pendidikan. Jadi, bagaimana pun berpendidikan manjadi penting menjawab masalah tersebut.
Memang, pendidikan tidak sebatas didefinisikan sebagaimana jenjang formal pada umumnya. Nilai pendidikan adalah, minimal masyarakat kita punya pemahaman yang cukup soal informasi yang beredar. Sehingga, respond yang diberikan tidak memicu pembelahan dalam kehidupan mereka.
Relevansinya dengan perkembangan politik sekarang adalah, jika ada upaya pembelahan yang dilakukan oleh oknum tertentu maka, masyarakat sudah siaga dengan filternya guna mencegah pembelahan dalam masyarakat.
Berbeda halnya jika, ada individu maupun kelompok berpendidikan masih berpandangan sama dengan individu maupun kelompok lain yang kurang berpendidikan. Saya kira ada kepentingan terselubung yang menyertai sikapnya tersebut. Kita perlu berhati-hati dengan individu maupun kelompok ini.Â
Adapun faktor eksternal atau faktor luar dari individu maupun kelompok yang berpotensi membelah masyarakat. Saya ingin kita batasi pada faktor kepentingan elit, sekalipun banyak faktor eksternal lain yang potensial membelah masyarakat. Misalnya lingkungan, ekonomi, dll.
Bagi saya, kepentingan elitlah yang berpotensi besar membelah masyarakat. Begini, misalnya jika seorang politisi hendak nyaleg maka Ia punya tim sukses yang rata-rata punya pengaruh mengikat masyarakat atau kelompok tertentu dalam hubungan vertikal. Begitupun dengan caleg lain yang melakukan hal yang sama. Demikian sehingga, antar Caleg dan timses punya perbedaan pandangan politik, dan akan membentuk kelompok-kelompok sebagai penguatan terhadap kepentingan semu kolektif.
Jika space antar kelompok yang satu dengan yang lain semakin besar maka, potensi pembelahan antar mereka juga semakin besar. Lebih-lebih misalnya politik dikerahkan untuk kemenangan kandidat dengan menghalalkan segala cara. Maka, antar kelompok tidak saja terjadi pembelahan namun, dapat memupuk dendam yang berkepanjangan.
Sebab, dalam definisi politik, tidak ada kawan abadi dan lawan abadi. Hanya ada kepentingan yang abadi. Hari ini kita boleh menjadi lawan namun, kita dapat dipertemukan dan bersama ketika kita memiliki kepentingan yang sama. Lumrahnya politik ya demikian.
Namun kondisi pelik seperti sekarang, tidak disadari oleh masyarakat lantaran pressure kepentingan yang terlalu kuat dan membutakan keseluruhan diri.
Kondisi yang demikian, tawaran solusinya ada ditangan mereka yang berkepentingan. Mereka punya kewajiban untuk mengedukasi kelompoknya dan masyarakat secara umum agar politik hanya dibatasi dan didefinisikan sebagai ajang tahunan yang lekas setelah itu, berdamai adalah pilihan yang selamanya harus dipegang erat.
Demikian sehingga, kali ini dengan cuaca politik yang panas dan hujan, kita rentan terinfeksi flu pembelahan. Kita tidak bisa menghindarinya, namun minimal kita punya obat memfilternya untuk mencegah pembelahan yang berlarut hingga menjadi dendam setiap kontestasi politik.
Salam pemilu damai..!!