Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Ingin Meneladani Pekerjaan Nabi, Bukan jadi TKI

13 Juni 2013   21:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:04 188 0

Meski hidup di negeri rantau penuh dengan rasa kerinduan, keresahan dan bahkan kesengsaran (biasanya di alami oleh para TKI ilegal) tak dapat dipungkiri secara finansial para TKI merasa sangat berkecukupan, inilah yang menjadi motivasi utama rakyat “melarat” Indonesia untuk menjadi TKI di Malaysia. Seperti halnya sepupu cowokku yang pernah aku ceritakan di telulisanku sebelumya (bendera berkirabar dihalam rumahku). Dia bahkan mulai mengadu nasibnya di negeri rantau sejak tamat SMP (sekolah menengah pertama), nasib kita emang beda setelah kita tamat SMP, aku lebih beruntung bisa menlanjutkan ke SMA meskipun dengan susah payah, sedangkan sepupuku itu pergi merantau kenegri jiran demi sebuah penghidupan.

Waktu itu sepupuku masih umur kurang labih 13 tahun-an, dia memang lelaki hebat dan kuat, bisa pembaca bayangkan remaja umur 13 tahunan harus merantau ke Malaysia, berpisah dari keluarga, bukan untuk menuntut ilmu seperti kebanyakan anak para pejabat atau konglomerat tapi untuk mencari sumber penghidupan yang lebih layak dari kampung halamannya.

Diantara proyek2 bangunan bertingkat dia memacu  tenaga setiap hari dibawah terik matahari yang bukan main panasnya. Sampai2 selama bulan puasa pun dia tidak pernah puasa saking panas dan beratnya pekerjaan yang selalu ditempa. Begitu dia pernah berkisah padaku.

Kondisi tersebut juga terjadi pada TKI umumnya yang berkeja sebagai kuli bangunan bertingkat, bagi mereka bulan puasa tak ubahnya seperti bulan2 lainnya, tak ada puasa, apa lagi tarawih? mungkin hanya sholat isya’ aja bagi mereka yang masih mempunyai sisa2 tenaga sehabis menempa bangunan bertingkat di siang harinya. Mereka paham dengan dosa yang ditanggungnya, namun apa boleh buat kondisi yang tak memungkinkan.

Kerja keras memeras peluh, banting tulang di bawah terik matahari, setiap hari untuk memberi makan anak dan istri yang selalu menanti dikampung halaman ibu pertiwi. Memang tak sedikit dari mereka kemudian berlimpah fianansial, bisa mengubah standart hidup keluarga di kampung halaman. Ini nyata menjadi TKI di Malaysia bisa merubah standart kehidupan rakyat “melarat” di pelosok Indonesia, bagitu yang terjadi di kampung halamanku, dan terjadi juga pada sepupuku yang sudah lama perantau di Jiran sana.

Sepupuku sudah berkecukupan secara finansial,  aku perhatikan banyak perubahan padanya, penampilannya, baju2 nya yang dipakai jauh lebih micis dan ber-merek ketimbang semasa hidup di kampung dulu. Dan yang buat aku iri banget dia sudah bisa membantu mengurai beban hidup orang tuanya dengan uang ringgit yang selalu dia kirimkan.

Sungguh aku iri pada sepupuku, dia sudah bisa mencari penghidupan sendiri, sedangkan aku masih tak tentu arah di universitas negeri. Aku mulai resahkan diri, mempertanyakan pekerjaan masa depan yang akan aku jalani nanti. Namun  aku tetap yakin pada diri dan kemakmuran negeri ini,  Saat itu  pula aku berjanji untuk membuktikan diri, kalau aku harus mempunyai gaji tinggi melebihi gaji yang diterima sepupuku yang menjadi TKI. Aku mulai memikirkan strategi masa depan nanti untuk bisa mendapatkan penghasilan tinggi, tentunya bukan menjadi pegawai swasta apalagi pegawai negeri, seperti yang di-orientasikan kebanyakan Perguruan Tinggi. Tetapi meneladani pekerjaan Nabi menjadi intreprenuership sejati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun