Terngiang kata-kata Nadya tadi malam, "Rin, Aku mencintai Hari. Tapi aku tidak tahu bagaimana perasaan Hari padaku."
Pedih rasanya, bagaimana mungkin ia dan sahabatnya mencintai lelaki yang sama. Bagaimana mungkin Nadya tidak tahu itu ? Selama ini Ririn selalu bersemangat menceritakan semua hal tentang Hari, sebegitu seringnya. Tapi Nadya tak merasakan apa yang Ririn rasa dibalik cerita-cerita itu. Dan dengan tenangnya menceritakan perasaannya itu pada Ririn malam tadi.
Tepukan di pundak membuat Ririn kaget dan menghentikan langkahnya.
"Ada yang jatuh, Neng ? Sejak tadi kulihat kau jalan sambil menunduk."
Hari. Bagaimana mungkin mahluk yang sedang dipikirkannya itu tiba-tiba muncul dihadapannya. Ririn tersenyum.
"Ngga ada kok, Har. Cuma sedang menikmati jalan yang masih sepi, udara masih segar dan belum ada mahluk yang menganggu." Jawab Ririn sambil tertawa.
"Jadi aku mengganggu, nih ? Yo wes, aku tinggal deh..........."
"Ngga, kok Har. Kok jadi ngambek sih ?" Jawab Ririn sambil menarik tangan Hari.
Persahabatan sejak SMA membuat mereka begitu dekat, tak menyangka akan memilih kampus yang sama di kota yang sama. Liburpun pulang ke kota kecil mereka berbarengan. Saling mengunjungi saat libur, mengisi liburan bersama. Tak hanya itu, Hari juga sering mengunjungi kosnya, walaupun hanya ngobrol di teras rumah kos terkadang sambil makan cemilan yang dibawanya. Indah, sampai curhat Nadya tadi malam terdengar.
Mereka jalan bersama, tapi berpisah di persimpangan taman. Jadwal mereka berbeda. Dan Hari berjanji malam itu mengajak nonton, ada film drama bagus katanya. Tumben, Hari tertarik film drama. Untuk hal yang satu ini, selera mereka berbeda.
****
"Rin, menurut kamu....ini menurut pendapatmu lho, Rin. Bagaimana cara yang paling manis bagi seorang lelaki untuk menyatakan cinta pada seorang gadis ?"
Ririn terkejut, pertanyaan yang hadir saat mereka makan di sebuah kedai fastfood sebuah mall malam itu.
"Hehehe.........kenapa ? Lagi jatuh cinta, Pak ? Tembak langsung ajalah...." Jawab Ririn sekenanya.
Padahal dalam hati, Ririn bertanya-tanya. Siapa gadis itu ? Nadyakah?
"Kalau gitu, langsung ngomong aja ya, Rin ?" Hari masih begitu serius dengan pertanyaannya.
Ririn tertawa, "Begitu seriuskah masalahnya ? Ya, iyalah. Memang dengan cara apa lagi ? Seorang perempuan butuh kejelasan. Setidaknya sebuah pernyataan yang memang mewakili perasaanmu itu sekali terucap dari mulutmu."
"Ririn, Aku sayang kamu."
Ririn kaget, nyaris dia terlonjak. Ditatapnya Hari, yang menatapnya begitu rupa. Ririn salah tingkah, tak tahu bila sarannya tadi ternyata bagai senjata makan tuan.
"Rin, aku serius. Bertahun-tahun menjadi sahabatmu. Aku mulai merasa takut kehilanganmu. Benci bila ada lelaki mendekatimu."
Ririn terkesima, tapi masih diingatnya kata-kata Nadya malam itu. Nadya sahabatnya juga, sahabat mereka berdua. Sejak kecil dibesarkan hanya oleh seorang ibu. Ayahnya menderita gangguan mental sejak Nadya kanak-kanak. Pemalu, sering tidak percaya diri apalagi bila ada teman yang bertanya rumahnya dan ingin mampir. Seribu alasan berusaha disampaikan sebagai penolak agar mereka tidak mampir, sering kali akhirnya mereka berbelok ke rumah Ririn. Hanya Ririn yang tahu sebabnya. Nadya malu bila sampai teman-teman mereka melihat ayahnya, bahkan Hari pun tak pernah tahu.
****
Malam kian larut, Ririn masih termenung dikamar kosnya. Bingung.
Tadi akhirnya dia menceritakan tentang Nadya pada Hari. Menceritakan semua tentang Nadya. Ririn meminta hari untuk bisa menerima Nadya dan memberinya tempat spesial di hatinya itu untuk Nadya, sahabat mereka. Nadya lebih membutuhkan Hari, itu yang berkali-kali Ririn ucapkan untuk meyakinkan Hari. Dia butuh seseorang yang bisa menerimanya, menemaninya dan bisa menguatkannya. Hari tak banyak bicara, dia lebih banyak diam.
Ririn memohon dengan sangat pada Hari, bagaimanapun dia takkan sanggup bahagia diatas duka sahabatnya. Sahabatnya yang sejak kecil bahkan tak pernah punya sosok lelaki pelindung dalam hidupnya. Walaupun dia tahu, tak adil rasanya untuk Hari, bahkan untuk dirinya juga.
Ririn mendesah, bukan aku tak mencintaimu.
****
"Rin, Hari mengajakku nonton malam minggu kemarin. Dia nembak aku." Bisik Nadya, waktu bertemu Ririn di pekan berikutnya. Ririn terkejut, tak menyangka secepat itu. Dia mencoba bereaksi biasa saja, walaupun bingung harus berkata apa.
"Aku duluan ya, Rin. Tuh, Hari sudah menunggu." Kata Nadya lagi, sambil menunjuk ke arah Hari yang sedang berdiri di bawah pohon didepan perpustakaan. Ririn mendesah, pedih rasanya.
Dan malamnya Hari datang ke kosnya. Terdiam mereka berdua duduk di teras rumah.
"Aku sudah mencoba, apakah kamu bahagia ?"Tanya Hari sambil menatap ke arah lain, terlihat enggan menatap Ririn.
"Aku minta maaf, Har. Tapi setidaknya Kau tak harus bertindak secepat itu."
"Apalagi yang kamu mau sih, Rin ? Aku bersikap seperti itu menurutmu terlalu cepat. Lalu aku harus bagaimana ? Aku hanya mau kamu mengerti, aku mencintaimu. Dan kalau ini akan membuatmu bahagia aku akan berusaha melakukannya, tapi ternyata tidak seperti ini juga yang kamu kehendaki ?"
Tiba-tiba hari bicara dengan nada yang demikian tinggi dan menatap Ririn tajam. Lalu pergi meninggalkan Ririn yang terisak, merasa bersalah.
Sejak itu perang dingin dimulai, mereka tak pernah bertegur sapa lagi. Nadya pun tak pernah menyadari.
****
Tiga tahun berlalu, Ririn sudah disibukan dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan. Ketika tiba-tiba menerima telepon mengejutkan sore itu. Hari.
"Aku mendapat nomor teleponmu dari Bunda, apakah aku mengganggu ?" Ririn menggeleng tak menyadari, bahwa suara itu ada di telepon genggamnya.
Akhirnya, cerita itu didengarnya. Saat Hari memutuskan untuk bekerja di sebuah instansi pemerintah dan mendapat penugasan jauh di luar kota, Nadya memutuskan hubungan mereka. Banyak ketidakcocokan dan Nadya merasa takkan sanggup mendampingi Hari sejauh itu. Hati Ririn hancur. Sahabat yang dibelanya justru telah menghancurkan hati orang yang dicintainya.
Hari mengabarkan akan segera menikah, dengan seorang perempuan yang dijodohkan oleh orang tuanya. Dia yang meminta orang tuanya untuk mencarikannya istri, tanpa pertimbangan menerimanya dan akan menikah.
Hati Ririn semakin hancur, rasanya baru kemarin dia bimbang berada di persimpangan jalan itu. Keinginan untuk merengkuh kebahagiannya sendiri harus disandingkan dengan kebahagiaan sahabatnya. Dan akhir dari keputusannya ternyata menghancurkan tidak hanya hatinya tapi juga hati orang yang dicintainya.
"Semoga kamu bahagia, Rin. Siapapun lelaki yang kelak mendampingimu."
Ririn terisak, "Maafkan aku, Har. Semoga kamu bahagia, apapun keputusan yang kamu pilih. Maafkan aku."
Luka itu terasa semakin pedih, tak hanya untuk Hari tapi juga untuk Ririn.
(habis)