Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sopir Angkot pun Butuh Senyum Kita

14 Januari 2010   09:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 120 0
"Menggeleng aja kok gak mau tho, Mbak." celetuk seorang sopir angkot.

Ceritanya saya sedang berada di mikrolet 01 menuju Matraman. Seperti biasa sang sopir menawarkan jasa angkotnya dengan membunyikan klakson sambil berteriak, "Melayu! Melayu!". Kali ini yang ditawarinya seorang mbak-mbak di pinggir jalan. Tapi mbak-mbak itu melengos dan membuang muka. Lalu terlontarlah celetukan sang sopir tadi.

Saya bisa menangkap suatu pesan tersirat. Ia, sopir angkot itu, ingin dihargai walaupun ia hanya seorang sopir angkot. Sebuah penghargaan kecil berupa gelengan kepala ketika kita tidak bersedia naik di angkotnya. Bahkan secuil senyum akan lebih membuatnya jauh merasa dihargai.

Bukankah Rasulullah sendiri sudah mengajarkan kita untuk menghargai orang miskin. Seperti yang dituturkan oleh Anas r.a. Adalah Zahir ibn Haram, seorang pria dusun yang selalu menghadiahkan keju atau minyak samin dari kampungnya kepada Rasulullah saw. Begitu pun sebaliknya. Rasulullah saw. selalu membekalinya dengan kurma atau sejenisnya saat Zahir ibn Haram pulang ke dusunnya.

Rasulullah saw. sangat menyukainya. Beliau berkata, "Zahir adalah orang dusun bagi kita, sedang kita adalah orang kota baginya." Diceritakan Zahir memiliki rupa yang buruk.

Suatu hari Zahir pergi ke Madinah. Sayangnya Rasulullah saw. sedang tidak ada di rumahnya. Padahal ia membawa barang dagangan dalam jumlah yang cukup banyak. Zahir pun pergi ke pasar untuk menjual barang dagangannya.

Rasulullah saw. mendengar kedatangannya. Beliau langsung pergi ke pasar dan mencarinya. Sesampainya di pasar, beliau melihat Zahir sedang menjajakan dagangannya. Keringat menetes deras dari tubuhnya. Lazimnya orang dusun, baju yang dipakainya khas orang kampung dengan segala bentuk, warna, dan baunya. Namun Rasulullah saw. langsung memeluknya dari belakang tanpa peduli kondisinya. Zahir tidak bisa melihat dan mengetahui siapa yang memeluknya. Ia pun ketakutan dan berteriak, "Lepaskan aku! Siapa ini?"

Rasulullah saw. diam saja dan Zahir terus meronta minta dilepaskan. Ia berusaha menengok ke belakang. Pada tengokan kesekian kali, ia tahu Rasulullah saw. yang memeluknya. Hilanglah semua rasa takutnya. Bahkan ia semakin mengeratkan punggungnya kepada Rasulullah saw.

Kemudian Rasullah saw. bercanda padanya. Beliau berteriak kepada semua orang, "Siapa yang mau membeli budak ini? Siapa yang mau membeli budak ini?"

Zahir diam sambil mengamati dirinya. Lalu berkesimpulan, dirinya adalah orang miskin yang susah, tidak berharta, dan tidak memiliki ketampanan. Maka ia berkata, "Demi Allah, aku tidak mungkin laku engkau jual, ya Rasulullah."

Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, karena di mata Allah, engkau benar-benar sangat mahal harganya."

Tidaklah mengherankan bila hati-hati orang miskin banyak yang bersimpati kepada Rasulullah saw. karena beliau mampu menghargai mereka.

Lalu mengapa kita tidak bisa. Hanya dengan gelengan kepala. Alhamdulillah bila disertai dengan senyum. Bukan dengan sopir angkot saja, tapi juga kepada tukang ojek, pedagang keliling atau asongan, tukang becak, dan masih banyak lagi. Bagaimana? Bisa bukan? Saya yakin kita semua bisa melakukannya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun