“Udah di parkiran kok Mba” jawabku menenangkan.
“Oh ya sudah kalo gitu. Kita tunggu ya Mba.”
Aku mempercepat langkah kakiku. Menyusuri lorong-lorong sepi Museum Kesehatan. Ya, Kantor Hotline memang menjadi bagian kecil dari area Museum Kesehatan ini. Bagian kecil yang memberi kontribusi besar bagi hidup para perempuan muda yang nasibnya tak seberuntung aku dan kamu.
Belum juga sepasang kaki-ku masuk ke dalam kantor Hotline, senyum para perempuan muda ini sudah mengembang, menyambut kehadiranku. Wajah riang mereka membakar semangat-ku. Sang Komandan, Esthi Susanti Hudiono tak hadir saat itu.
Tak lama setelah aku berbasa-basi, pelatihan pun segera ku-mulai. Sedikit keributan dan keluhan di kelas wajar untuk anak-anak se-usia mereka. Bukankah aku dan kamu dulu juga seperti itu? suka menggoda para guru yang sedang mengajar dengan kejahilan dan kericuhan-kericuhan yang mengesalkan. Ya, anggap saja ini karmaku.
Usia mereka beragam. Pendidikannya juga beragam. Mulai dari SD hingga SMA. Minggu itu pesertanya hanya 10 orang. Delapan perempuan, dan 2 laki-laki kecil se-usia Anggi, keponakanku. Sekitar 10 hingga 12 tahun.
Jangan bayangkan mereka sebagai anak yang penuh dengan kesedihan. Sama sekali tidak. Yayasan Hotline telah berhasil mendampingi mereka menjadi anak-anak yang kuat. Mereka sama seperti anak-anak kebanyakan. Ceria, penuh semangat, dan sedikit jahil.
Mereka tak sungkan-sungkan bertanya padaku, mengajakku bercanda, dan mengajakku berfoto bersama mereka. Bila aku lupa tidak menyebut nama salah satu dari mereka, mereka akan protes keras. “Kok namaku gak disebut Mba?” hahahaha…..
Hari itu, salah satu dari mereka, sebut saja namanya Bening, membawa serta bayinya yang masih berusia 16 bulan. Nama bayi itu Putra. Badannya mentek, pipinya temben, rambutnya hitam legam dan tebal, matanya bundar dan hitam, tak seperti mata Bening, Ibunya. Mungkin Ia mirip Ayahnya. Ia dilahirkan di luar pernikahan Agama maupun Negara.
Tak hanya usia Putra yang masih sangat muda (16 bulan), usia Bening pun masih sangat muda, 16 tahun. Bila dihitung mundur, maka Bening melahirkan Putra di usianya yang baru menginjak 14 atau 15 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk menjadi seorang Ibu.
Tak heran bila Bening kemudian menolak untuk dinikahi kekasihnya. “Dia menolak menikah karena masih ingin sekolah” cerita Bu Esthi dengan tatapan mata yang menerawang, seolah membawanya kembali pada masa-masa itu. Bening bersama Putra, hingga kini masih tinggal di Shelter Hotline bersama dengan para perempuan lainnya.
Sepanjang kelas berlangusng, sesekali terdengar Putra merengek, berusaha mencuri perhatian Ibunya yang sedang asik mengikuti pelatihan menulis. Berbagai cara dilakukan untuk menenangkan si kecil. Bahkan para Tantenya pun ikut sibuk menenangkan. Selama dua jam pelatihan, aku melihat Putra di berbagai sudut. Dekat pintu masuk, di pangkuan Ibunya, di atas meja, hingga berlari kecil mengelilingi meja.
Tak jarang, si tampan kecil ini menjadi bulan-bulanan para Tantenya. Mulai dari pipi tembemnya yang dicubit, dicium, hidungnya yang dipencet-pencet dan banyak lagi. Putra memang mengesankan. Wajah polosnya sungguh seperti magnet. Pertemuan pertama-ku dengan Putra juga mengesankan.
“Heii itu anak-mu ya?” tanyaku penuh semangat pada Bening.
“Iya ini anakku, Mba. Namanya Putra” mata Bening berbinar, kedua tangannya menggerakkan kepala mungil Putra, memamerkan ketampanan Putra padaku. Pria kecil itu menatapku dengan cengiran yang menggoda, seolah tau maksud hati sang Ibu yang tengah me-mamerkannya padaku.
Awalnya kupikir, pelatihan ini tak akan membawa kemajuan pada kemampuan menulis mereka. Maklumlah, mereka kerap kali lebih tertarik pada gadget-nya ketimbang materi pelatihan. Ternyata aku salah. Bening bahkan masih ingat dengan materi dan ajaran yang aku berikan 2 minggu lalu. Gendis (bukan nama sebenarnya), gadis kecil berjilbab yang duduk di sebelah kiri-ku bahkan sudah jago bercerita lewat tulisan.
Ceritanya sungguh menarik. Detail, alurnya sangat halus, dan penuh dengan perumpamaan yang mengesankan. Aku tebak, Ia masih SD atau maksimal SMP, namun kemajuannya sungguh pesat.
Gendis tak sungkan-sungkan mengingatkanku untuk diam, ketika ia sedang mengerjakan tugas yang aku berikan. Sepertinya dia butuh konsentrasi. Sambil menunggu Gendis, Bening, dan delapan anak lainnya menyelesaikan tulisannya, aku menghabiskan lembar demi lembar buku yang kubawa.
Suasana begitu hening. Anak-anak berkonsentrasi penuh dengan tulisannya, sedangkan aku tenggelam dalam setiap barisan kalimat dari buku yang kubaca. Hening ini begitu damai. Mungkin Malaikat juga ikut tersenyum melihatnya.
Hingga tiba-tiba suara Hanum (bukan nama sebenarnya) memecah keheningan. “Mba Astrid! itu novel ya?” tanya-nya menebak.
“Hmm.. bukan. Kenapa?”
“Mba Astrid punya novel? aku pinjem dong” rengeknya penuh harap.
“Ada. Oke, nanti aku bawakan ya. Di pertemuan selanjutnya. Kamu sms aku, ingatkan aku lagi ya”
“Asik, janji ya?
Belum sempat aku menarik nafas, tiba-tiba Gendis langsung memotong “Mba Astrid, punya novel horor?” tiba-tiba saja aku merasa tatapan tajamnya menekan-ku. Mungkin karena pengaruh kata horor yang baru saja aku dengar.
“Ada. Nanti aku bawakan ya?” Gendis mengangguk, senyumnya bahagia menanti novel horor.
Berharap kemajuan menulis mereka yang lebih pesat, aku memberikan pekerjaan rumah untuk mereka. Tak lupa, aku memberi iming2 hadiah untuk 5 tulisan terbaik. Gendis dan adiknya, Pia (bukan nama sebenarnya) yang baru berusia 7 tahun antusias dengan tugas baru mereka.
“Aku pasti dapet hadiahnya” seru dua anak itu kompak. Aku tak bisa berhenti tersenyum melihat tingkah mereka.
“Eits, bagi yang gak mengerjakan juga ada hukumannya”
“yaaaaaaa….. hukumannya apa Mba?” kali ini mereka asik berkeluh kesah.
“Hukumannya aku serahkan ke Mba Yuli dan Mba Irna ya” Keduanya adalah staff Yayasan Hotline.
Mendengar apa yang kuucapkan, Mba Irna bersorak sorai. Sepertinya dia hendak balas dendam pada adik-adik yang sering menjahilinya.
Hampir dua jam berlalu. Jam menunjukkan angka 15.45. Aku memutuskan untuk menyudahi pelatihan. Aku pikir semua anak akan merasa senang karena kelas berakhir 15 menit lebih cepat. Ternyata aku salah. Gendis protes keras.
“Loh kan katanya Mba Yuli sampai jam 4?”
“Ya sudah, kalau ada yang mau tanya silakan, sambil menunggu jam 4 sore”
Seperti sudah bisa ditebak. Tak ada yang tanya. Mereka justru mengajak-ku berfoto bersama menggunakan kamera yang ada di Kantor Hotline.
Sebelum berfoto, aku sempat bermain bersama Jawa. Pria kecil yang usianya mungkin baru 5 atau 6 tahun. Rambutnya tebal, kulitnya bersih, matanya cenderung sipit, dan memiliki senyum yang menawan. Ia juga tak menolak aku pangku saat kami berfoto bersama.
Anak-anak itu memiliki magnet. Magnet itu pula yang mungkin menahan Bu Esthi untuk tetap memperjuangkan mereka. Magnet yang berhasil membuatku selalu mengingat mereka, bahkan sesaat menjelang tidurku.
Aku masih ingat ketika aku dan Bu Esthi ngobrol berdua. Kami berbincang tentang mereka. Mata Bu Esthi tak lepas memandangi anak-anak didiknya yang sedang asyik menyantap makanan yang telah disediakan.
“Kalau aku menyerah, lalu siapa yang akan mengurus mereka?” itulah jawabannya ketika aku bertanya mengapa ia memilih jalan hidup ini. Jalan hidup yang ditentang keluarganya sendiri. Ketika semua orang pusing memikirkan persoalannya masing-masing, maka Bu Esthi justru pusing memikirkan persoalan para gadis muda itu.
Sungguh aku tak habis pikir, adakah di dunia ini manusia yang memiliki panggilan jiwa, menjadi aktifis kemanusiaan seperti yang dimiliki oleh Bu Esthi? Ia bahkan mengorbankan impian semua perempuan: menikah.
Pertanyaan yang sempat terlontar dari mulutnya “Setelah aku, siapa ya kira-kira yang akan mengurus mereka?”
Mendengar pertanyaan itu, aku hanya terdiam, membisu. Namun hatiku sudah memberikan jawaban yang mungkin tak dapat di dengar oleh Bu Esthi. Namun aku yakin, jawabanku ini sudah dipahami sepenuhnya oleh Beliau: Tuhan tentu akan mengutus seseorang, memanggil jiwanya, sama seperti ketika Tuhan mengutus dan memanggil jiwa seorang Esthi Susanti Hudiono.