Meski perkawinan kelihatannya adalah peristiwa biasa yang memang harus dijalani oleh setiap spesies bumi untuk mempertahankan kelanjutan generasinya, tetapi perkawinan pada manusia memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan perkawinan pada makhluk lain, karena manusia punya peradaban. Peradaban menyebabkan perkawinan pada manusia tidak hanya mempunyai satu tujuan yakni melahirkan keturunan, tetapi lebih dari itu peradaban menjadikan perkawinan pada manusia memiliki fungsi dan nilai yang jauh melampaui tujuan alaminya. Proses yang terjadipun tidak semata-mata naluriah, tetapi di dasarkan pada pertimbangan etika dan estetika.
Etika merujuk pada tujuan moral dan kaidah normatifnya. Tujuan moral perkawinan tidak hanya melahirkan keturunan tetapi adalah juga bagian dari kewajiban religius manusia terhadap Yang Ilahi (tentunya bagi yang sudah menemukan jodohnya dong hehe...). Itu sebabnya dalam perkawinan manusia terdapat kaidah normatif yang harus dijalani sebagaimana yang ada pada tuntutan adat, budaya maupun agama. Perkawinan tidak hanya menjadi peristiwa yang biasa tetapi adalah peristiwa yang sakral, karena di dalamnya terdapat janji seorang manusia yang bukan hanya ditujukan pada pasangannya tetapi juga ditujukan pada Tuhannya. Pada perkawinan dengan demikian dituntut adanya sebuah bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan maka tujuan dari perkawinan kemudian adalah membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera lahir dan bathin selamanya. Keluarga dalam pemahaman yang demikian tentulah sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat anggota-anggota keluarga yang menjalankan fungsi dan tugas bukan atas dasar ketergantungan dan tekanan, tetapi adalah atas dasar kesadaran akan kewajibannya sebagai anggota keluarga untuk menjalankan fungsi dan tugasnya itu sesuai dengan status yang melekat pada dirinya. Perkawinan dengan demikian bukanlah sebuah lembaga netral yang semata-mata hanya tempat untuk lahirnya keturunan tetapi lebih dari itu perkawinan pada manusia memiliki fungsi sebagai pembebasan dan pencerahan justru karena tujuan moral dan kaidah moral yang dimilikinya.
Sedangkan Estetika pada perkawinan merujuk pada seni mendapatkan pasangan hidup atau seni mencinta. Dalam mendapatkan pasangan hidup, jalan yang ditempuh seorang anak manusia sangat berbeda dengan makhluk hidup yang lain karena dalam proses mendapatkan pasangan hidupnya manusia melibatkan unsur CINTA.
Cinta memperindah proses perjodohan manusia karena pada Cinta terdapat suatu aktivitas (seni) menjadi, artinya untuk mendapatkan cinta dari pasangannya maka manusia harus mampu mewujudkan diri menjadi orang yang dicintai. Agar bisa menjadi orang yang dicintai, kesadaran dari yang bersangkutan mengenai apa yang menjadi kebutuhan dari orang yang dicintai menjadi penting. Kemampuan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan pasangannya, menjadikan orang tersebut meng-“ada” (menjadi ada) dalam diri pasangannya.
Meski pada Cinta ada perasaan saling memiliki tetapi tidak untuk menguasai dan mendominasi yang satu terhadap yang lainnya. Pada Cinta terdapat sebuah dialog bebas tanpa dominasi mengenai kesepakatan suatu peran apa yang hendaknya ada pada pasangannya. Cinta menuntut adanya kesadaran dari masing-masing pihak yang terlibat pada proses saling mencinta. Cinta dengan demikian bukanlah suatu aktivitas yang membelenggu dan menindas tetapi suatu aktivitas yang membebaskan. Maka pada dasarnya tidak ada Cinta bila tidak menimbulkan perasaan bebas.
Perkawinan dengan demikian, bukanlah sebuah peristiwa alam biasa yang hanya bertujuan tunggal menghasilkan keturunan, bukan pula hanya sekedar agar pelepasan syahwat menjadi sah secara hukum. Jauh daripada itu, ada suatu nilai yang ingin dikembangkan dari sebuah institusi yang namanya perkawinan, suatu fungsi dan peran yang agung, yaitu terciptanya kebebasan bagi manusia.
Bila sebuah perkawinan ternyata tidak menghasilkan tujuan sebagaimana yang dituntut oleh nilai dari institusi perkawinan maka perkawinan tersebut sebetulnya bukanlah perkawinan, apapun reason yang dipakai untuk mendasarinya.