Rikuh penerapannya sangat relatif, tergantung pada persepsi apakah situasinya jika dilakukan pantas ataukah tidak. Rikuh biasanya dilakukan untuk menghindarkan kita dari gunjingan karena perbuatan yang kita lakukan meski boleh tetapi tidak pada tempatnya. Sebagai contoh, seorang pemimpin/tokoh masyarakat mestinya rikuh jika memperlihatkan gaya hidup penuh kemewahan (meski itu harta usahanya sendiri dan bukan hasil korupsi), sementara ada banyak rakyat/masyarakat sekitarnya hidup susah. Seorang tokoh masyarakat yang baik, disarankan untuk selalu “jajah desa milang kori” (blusukan) agar tahu kondisi dan keluh kesah yang ada di masyarakatnya, harusnya rikuh jika ngakunya tokoh masyarakat tetapi tidak paham dengan apa yang terjadi atau menjadi keinginan masyarakat di lingkungannya.
Sementara Pakewuh diterapkan untuk menjaga agar jangan sampai seseorang merasa malu atau bahkan tersinggung sebagai akibat dari apa yang kita lakukan, meski sebenarnya yang kita lakukan tidak salah. Biasanya pakewuh digunakan untuk melihat kepantasan yang kita lakukan berkaitan diri kita menjadi bawahan/rakyat/anak, meskipun yang kita lakukan sebenarnya sah-sah saja. Contohnya, jika kita punya atasan hidup sederhana, ke kantor hanya pakai mobil sekelas Avanza, meski kita punya Fortuner ya semestinya kita merasa pakewuh untuk memakainya ke kantor, meski sesungguhnya hal itu tidak salah, tetapi tidak pantas.
Pakewuh terkadang juga dilakukan karena kita ingin menjaga kehormatan seseorang (biasanya orang tua atau tokoh masyarakat). Kita segan (pakewuh) kalau akibat dari perbuatan kita yang tidak pantas, akan dikait-kaitkan keberadaan orang tua atau tokoh masyarakat itu, seperti ada kesan seolah-olah kita tidak menghormati keberadaan orang tersebut. Jika kita memiliki orang tua yang dianggap sebagai orang yang bermoral baik (teladan) semestinya kita merasa pakewuh melakukan hal yang bisa dipandang tidak pantas (meski boleh), apalagi sampai melanggar hukum. Jika ada tokoh masyarakat yang tinggal di kampung kita rajin turun ikut kerja bakti bergotong royong dengan warga, tentu kita akan merasa pakewuh jika tidak turut terlibat serta.
Meski Rikuh-Pakewuh pada dasarnya adalah ajaran yang baik, yaitu supaya kita menjaga dan mengendalikan perilaku kita agar tidak sekehendak hati, tetapi kadang ajaran ini juga bisa disalahgunakan untuk alasan melakukan hal yang tidak baik. Kita memberikan priveles kepada teman/kerabat yang mengantri untuk didahulukan karena rikuh jika nanti dibilang tidak mau membantu teman/kerabat.
Ketika ada kawan/atasan di kantor berbuat kesalahan/melanggar kita merasa pakewuh (segan) mengingatkan karena takut dia tersinggung. Kita segan (pakewuh) untuk menolak perintah atasan yang menyalahi prosedur/hukum karena takut atasan kita tersinggung.
Penyalahgunaan terhadap ajaran Rikuh-Pakewuh tersebut, jika menjadi kebiasaan akan menjadi tempat bersemainya bibit-bibit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Apakah dengan demikian ajaran Rikuh-Pakewuh ini tidak baik karena bisa disalahgunakan ?.
Setiap orang dalam berperilaku, selalu punya alasan-alasan sebagai rasionalisasi agar perilakunya bisa dibenarkan atau dianggap benar. Karena berfungsi sebagai rasionalisasi tentu saja alasan tersebut harus terlihat rasional agar bisa diterima. Hal yang paling mudah, tentu saja adalah dengan alasan-alasan yang mendasarkan pada ajaran moral/etika. Sehingga kita harus kritis hal ini, jangan terpukau oleh alasan moralnya yang terlihat indah dan rasional, tetapi yang harus dilihat adalah ada motif tersembunyi apa dibalik alasan moral yang terlihat indah dan rasional tersebut.