Di Sulawesi Selatan, misalnya, kebutuhan gula nasional mencapai sekitar 6 juta ton per tahun, sementara provinsi ini hanya mampu memproduksi sekitar 250 ribu ton per tahun, sebuah gap yang sangat besar. Pabrik-pabrik gula yang seharusnya dapat mendukung kemandirian produksi gula justru semakin menurun, dengan 1 dari 4 pabrik gula tutup pada tahun 2024. Sumber daya alam yang melimpah, termasuk lahan tidur di Sulawesi Selatan yang mencapai lebih dari 5 juta hektar, tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan produksi komoditas strategis seperti tebu, yang merupakan bahan baku utama untuk gula.
Sulawesi Selatan memiliki potensi besar dalam lahan tidur yang dapat dioptimalkan. Dengan 5 juta hektar lahan tidur yang tersebar di berbagai daerah, seharusnya bisa menjadi peluang besar untuk meningkatkan produksi tebu, sawit, dan beras. Memanfaatkan lahan tidur ini secara optimal akan memungkinkan Sulawesi Selatan tidak hanya menciptakan kemandirian pangan, tetapi juga berkontribusi besar pada kesejahteraan petani dan ekonomi daerah. Dengan membuka peluang bagi investasi dalam industri pengolahan gula, sawit, dan beras, serta memperkuat kerja sama antara pemerintah dan sektor swasta, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara eksportir gula, sawit, dan beras.
Lebih jauh lagi, Indonesia harus memaksimalkan potensi besar dalam komoditas lain seperti sawit dan beras, yang menjadi kekuatan utama ekonomi Indonesia. Sawit adalah salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia, dan jika pengelolaannya lebih baik, kita bisa memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin ekspor sawit dunia. Demikian pula dengan beras, yang meskipun diproduksi dalam jumlah besar, masih harus menghadapi tantangan untuk memenuhi konsumsi domestik tanpa harus mengandalkan impor. Pengelolaan yang lebih efisien dalam produksi beras, dengan melibatkan teknologi pertanian modern dan mendukung para petani lokal, akan membantu Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik, tetapi juga memperkuat ekspor.
Sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada impor, kolaborasi antara pemerintah daerah dan sektor swasta sangat dibutuhkan. Di Sulawesi Selatan, misalnya, Gubernur Sulsel yang baru bisa menjalin kerja sama yang erat dengan APINDO Sulawesi Selatan untuk mempercepat pengembangan sektor pertanian, khususnya dalam produksi gula, sawit, dan beras. Dengan memperkuat kemitraan ini, pemerintah daerah bisa mengoptimalkan infrastruktur pertanian, memperkenalkan teknologi baru, serta mendorong investasi yang akan mempercepat transformasi sektor pertanian menuju industri pangan yang mandiri.
Selain itu, pemberdayaan UMKM pertanian, akses pembiayaan yang lebih mudah, serta peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendidikan untuk petani lokal, akan semakin memperkuat daya saing produk pertanian Indonesia. Swasembada pangan, dengan meningkatkan produksi gula, sawit, dan beras, dapat dicapai jika kita bergerak bersama, memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah dan menjalin kerja sama antara sektor pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
Peningkatan produksi dalam negeri tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga akan meningkatkan pendapatan nasional, memperkuat ketahanan pangan, dan membuka lapangan pekerjaan baru di sektor pertanian. Indonesia, dengan lahan yang subur, keanekaragaman komoditas, dan potensi SDM yang luar biasa, memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi negara yang mandiri dalam pangan dan berperan sebagai pemain utama dalam pasar global.
Mari kita wujudkan visi ini. Dengan semangat kolaborasi, inovasi, dan komitmen kuat, Indonesia dapat mengurangi impor pangan, meningkatkan ekspor gula, sawit, dan beras, serta menjadikan pertanian sebagai sektor yang tidak hanya mensejahterakan petani, tetapi juga mendukung kemandirian ekonomi bangsa. Sudah waktunya bagi kita untuk memanfaatkan potensi besar yang kita miliki dan mengubah Indonesia menjadi negara yang mandiri dan berdaya saing dalam sektor pangan global.