Ketika danau dan situ-situ ditimbun, pohon-pohon ditebangi, aliran sungai dan parit tersumbat dan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, maka datanglah bencana berupa banjir besar di musim hujan yang menggenangi jalan, wilayah perumahan dan areal pertanian serta kekeringan di musim kemarau melanda berbagai wilayah perkotaan maupun pedesaan. Kedua bencana yang datang silih berganti tersebut menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Itulah bencana akibat ulah manusia (man-made disaster) yang dialami oleh warga Jakarta dan rakyat Indonesia pada umumnya sepanjang tahun.
Kerusakan lingkungan yang lebih parah akibat perbuatan manusia terjadi di Asia Tengah. Laut Aral yang terletak di perbatasan sebelah barat-laut Uzbekistan dan barat-daya Kazakhstan mengalami penyusutan air yang luar biasa dalam 50 tahun terakhir. Di Awal tahun 1960-an Laut Aral masih tercatat sebagai danau besar atau laut-daratan terbesar ke-4 di dunia dengan permukaan air seluas 68.000 km2, pada akhir tahun 2000-an sudah menyusut dengan pesat menjadi tinggal 10 persen dari ukurannya semula. Para ahli mengkhawatirkan bahwa Laut Aral akan kering dan hilang dari peta bumi pada tahun 2020 apabila penyusutannya tidak bisa dikendalikan.
Laut Aral terbentuk sejak ratusan tahun silam sebagai muara dari dua sungai besar di Asia Tengah, yaitu Amudarya dan Syrdarya. Dua sungai tersebut merupakan urat nadi kehidupan dari 6 negara yang dilaluinya, yaitu Tajikistan, Kyrgyzstan, Afghanistan, Turkmenistan, Kazakhstan dan Uzbekistan. Sejak abad ke-8, Laut Aral terkenal sebagai Oasis di tengah gurun pasir tandus (yang kini menjadi bagian dari wilayah Uzbekistan dan Kazakhstan), sebagai tempat persinggahan serta lintasan Silk Road dari para pelancong maupun pedagang yang membawa sutera, teh dan porselin dari Cina untuk dipertukarkan barang dagangan lain dari India, Eropa dan Afrika.
Rezim Uni Soviet di bawah Joseph Stalin pada tahun 1930-an telah mulai membuat kanal memanfaatkan air sungai Amudarya dan Syrdarya untuk menjadikan padang pasir sebagai wilayah pertanian terutama padi dan kapas. Pemimpin Uni Soviet berikutnya Nikita Krushchev memperbanyak sodetan aliran irigasi kedua sungai tersebut guna meningkatkan produksi kapas yang dijadikan produksi andalan ekspor dari wilayah ini. Eksploitasi air sungai secara besar-besaran melalui pembuatan kanal yang kurang kokoh, ditambah dengan penguapan air serta debit air hujan yang rendah telah mengurangi secara signifikan pasokan air ke Laut Aral. Lebar muara Sungai Amudarya yang dahulu mencapai 3 km kini tinggal sekitar 300 m.
Para perancang ekonomi terpusat rezim Uni Soviet memang berhasil memperluas areal pertanian melalui pembangunan waduk-waduk/reservoir dan kanal-kanal irigasi dan pada gilirannya juga meningkatkan hasil produksi pertanian terutama tanaman kapas, namun mereka nampaknya tidak mengantisipasi dampak eksploitasi air sungai yang berlebihan berupa penyusutan air Laut Aral yang kini telah mengubah lebih dari 80 persen dasar laut menjadi padang pasir luas. Kini, hampir setiap hari sekitar 200 ribu ton pasir debu Laut Aral yang mengandung garam dan pestisida diterbangkan angin hingga sejauh radius 300 km. Bahkan ilmuwan menemukan debu bergaram Laut Aral sampai ke Jepang, Skandinavia dan Antartika.
Mengeringnya Laut Aral telah berdampak hebat terhadap kerusakan lingkungan serta kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya. Sumber air tanah serta udara dalam radius sampai 100 km yang terpolusi dengan kadar garam dan pestisida, telah menimbulkan berbagai penyakit seperti alergi, gatal-gatal, anemia, asma, gangguan pernapasan, kanker tenggorokan, tipes, tbc, hepatitis, lever, gagal ginjal, serangan jantung, dan penyumbatan pembuluh darah. Selain itu, masih ditambah lagi dengan adanya virus menular yang mematikan dari penyakit pes, cacar dan anthrax – sebagai akibat digunakannya Pulau Vozrozhdenie (yang dahulu berada di tengah Laut Aral) sebagai tempat uji-coba senjata bilologi di tahun 1950-an oleh para ilmuwan militer Uni Soviet.
Dampak langsungnya di tahun 1980-an saja tercatat 20-25 orang rata-rat per 100 orang masuk rumah sakit dengan berbagai jenis penyakit dan angka kematian terus meningkat terutama kalangan anak-anak, wanita dan orang tua, tertinggi di antara wilayah bekas Uni Soviet. Dari 1000 bayi lahir, rata-rata 75 diantaranya meninggal, sementara 120 dari 10 ribu wanita yang melahirkan meninggal dunia. Kota Muynak yang dahulu menjadi kota pelabuhan dengan penghasilan utama ikan segar serta ikan kalengan, kini menjadi sebuah kota kecil yang paling menderita atas keringnya Laut Aral – bukan saja industri perikanannya bangkrut tetapi hasil pertanian maupun peternakan juga menurun drastis karena tanah dan udaranya terpolusi berat. Akibatnya kota kecil ini terus mengalami pertumbuhan penduduk negatif baik karena tingginya angka kematian maupun perpindahan penduduk ke tempat lain.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, setelah melakukan seminggu kunjungan keliling ke 5 negara yang dilalui sungai Amudarya dan Syrdarya (Tajikistan, Kyrgyzstan, Turkmenistan, Kazakhstan dan Uzbekistan) serta pengamatan Laut Aral dari udara pada awal April 2010, menyatakan bahwa penyusutan Laut Aral tersebut sebagai salah satu bencana lingkungan hidup terburuk di dunia. Dia menyerukan seluruh pemimpin negara-negara Asia Tengah untuk mengesampingkan perselisihan dan persaingan mereka, sebaliknya segera bekerjasama mengatasi kerusakan lingkungan yang telah berdampak buruk pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di negara-negara Asia Tengah khususnya.
Negara-negara donor dan lembaga-lembaga internasional juga menyatakan keprihatinan dan memberikan perhatian penuh dalam melakukan penyelamatan Laut Aral. Organisasi dunia seperti World Bank, UNDP, UNEP, EU, Global Environmental Fund, serta perwakilan negara-negara Jepang, Kuwait, Swis, Perancis, Kanada, Italia, Belanda, Inggeris, Finlandia serta wakil dari the International Fund for saving the Aral Sea (IFAS) yang beranggotakan wakil-wakil dari Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan telah menyelenggarakan pertemuan di Paris pada tahun 1994 khusus membahas tentang program penyelamatan Laut Aral. Pertemuan menghasilkan pledging bantuan sebesar hampir US$ 26 juta, namun sebagian besar proyek belum bisa dilaksanakan karena belum dipenuhinya bantuan finansial yang telah dijanjikan.
Dalam rangka menghadiri festival budaya Asrlar Sadosi (Echoes of Generations) yang diadakan di Nukus, ibukota Republik Otonomi Karakalpakstan, Uzbekistan, saya menyempatkan diri berkunjung ke kota kecil Muynak (bekas kota pelabuhan ikan Laut Aral). Sepanjang perjalanan yang berjarak 210 km dari kota Nukus, hamparan tanah datar gersang tertutup debu warna putih yang mengandung garam dan zat kimia. Di beberapa tempat tampak hewan ternak berupa onta atau sapi dengan tulang-tulangnya menonjol tertutup bulu yang lebat. Guna membendung makin memburuknya kwalitas tanah, pemerintah telah memberdayakan masyarakat untuk membuat jalur hijau dengan tanaman pohon jenis haloxylon yang tahan terhadap udara dan air yang mengandung zat beracun.
Di dataran tinggi yang dulu menjadi batas darat dan air laut didirikan Monumen Laut Aral sebagai peringatan bencana akibat ulah manusia (man-made disaster). Monumen tersebut berupa tembok segitiga siku ke-atas yang dihiasi dengan peta penyusutan Laut Aral secara signifikan setiap 10 tahun sejak tahun 1950-an hingga data foto satelit tahun 2012. Menuruni tangga dari monumen ini terdapat 11 rongsokan kapal ikan yang tersisa di antara puluhan kapal lain yang terdampar di hamparan padang pasir luas dengan tanaman perdu liar yang tumbuh jarang. Setelah mengambil foto secukupnya, kami bergegas meninggalkan padang pasir bergaram yang mulai diterbangkan angin menerpa muka dan sekujur badan.
Wilayah Karakalpakstan yang pada tahun 1960-70-an merupakan salah satu wilayah tersubur di Uzbekistan dan bahkan di Asia Tengah karena adanya irigasi yang intensif dari sungai Amudarya dan Syrdarya, kini berubah menjadi wilayah tandus berdebu yang mengandung garam dan zat kimia sejalan dengan menyusutnya pasokan air Amudarya secara drastis dalam kurun setengah abad terakhir. Tetapi wilayah yang pernah menjadi oasis di tengah gurun pasir Asia Tengah ini nampaknya segera akan menjadi daya tarik kembali setelah ditemukannya sumber gas alam dan minyak di padang pasir Laut Aral. Sejumlah sumber independen memperkirakan wilayah Karakalpakstan menyimpan sekitar 1,7 trilyun kubik gas alam serta 1,7 juta ton minyak. Sehubungan dengan itu pemerintah Uzbekistan telah mencanangkan Karakalpakstan sebagai wilayah prioritas bagi investasi pengembangan produksi gas dan minyak. Perusahaan migas Rusia terbesar, Lukoil telah menyampaikan minatnya untuk menanamkan investasi eksplorasi gas di wilayah Laut Aral. Setelah suram, terbitlah harapan.