Budaya masyarakat ini dikenal karena mengonsumsi singkong sebagai makanan utama mereka, bukan nasi beras. Singkong ini diolah menjadi nasi, yang mereka sebut "rasi," setelah diperkenalkan oleh Kang Ali pada tahun 1918. Kebiasaan ini dipertahankan hingga sekarang karena dipengaruhi oleh nilai-nilai keberanian dan kesungguhan nenek moyang mereka yang pernah berpuasa hanya dengan memakan beras selama masa tertentu untuk mencapai kemerdekaan fisik dan spiritual. Selain menjadi makanan pokok, singkong juga menjadi sumber ekonomi.
Di bidang seni, Cireundeu memiliki beragam kesenian, termasuk kecapi Idung, karinding, dan angklung buncis. Kesenian ini merupakan bagian penting dari budaya dan upacara tradisional mereka.
Masyarakat Cireundeu menganut agama Sunda Wiwitan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Mereka memiliki aturan ketat terkait pernikahan, termasuk larangan bercerai, poligami, dan menikah dengan orang asing. Selain itu, ada aturan khusus saat mendaki puncak Salam, seperti tidak memakai baju merah, tidak menggunakan alas kaki, menjaga alam, dan membuang sampah dengan benar.