penyandang autisme bukanlah sebuah aib atau cela bagi keluarga terlebih kalangan pendidik. namun, sangat disayangkan kadang bahkan seringkali kata autis menjadi sebuah bahan lelucon yang sangat tidak lucu diantara kalangan pendidik khususnya guru disekolah umum. sebuah contoh kasus pernah terjadi disalah satu sekolah kejuruan negeri di kota depok, ada seorang peserta didik yang secara sikap sangat aktif sampai hampir tidak betah untuk duduk dibangkunya. sikap ini saya anggap wajar sebagai sikap atau tingkah laku seorang anak tapi tidak bagi sebagian besar teman-teman saya,mereka dengan terang-terangan menyebut dan bahkan memanggil anak tersebut dengan "autis". pada awalnya saya berpikir mereka seperti itu karena belum tahu secara jelas apa itu autis tetapi hal ini justru kembali berulang tidak tanggung-tanggung seorang pengawas dalam rapat semi formal menyebut anak yang hyper aktif dengan sebutan autis sambil tertawa. cukup disayangkan ketika autisme disamaratakan dengan sejenis penyakit fisik atau mungkin dengan penyakit sosial bagi seorang siswa atau peserta didik yang terlampau aktif dalam sebuah kegiatan belajar dikelas pada sekolah umum.
autime bukanlah sebuah penyakit menular terlebih sebagai bahan lelucon bagi sebagian kalangan pendidik (guru) sekolah umum, setiap anak memiliki keistimewaan apa pun bentuk dan jenisnya. dan, guru seharusnya lebih bisa menjelaskan tentang apa itu autisme dan bukannya menjadikan sebagai bahan lelucon untuk mengisi waktu luang atau cap bagi seorang anak yang memang sangat aktif.