Statmen di atas muncul tatkala aku berada di Arab Saudi selama kurang lebih 4 bulan. Di sana aku berinteraksi dengan berbagai macam karakter manusia, dari mulai karakter paling serius sampai karakter urakan sekalipun. Sesuai penilaianku, penghuni rubath al-jawiyyin (apartemen pelajar informal Indonesia di kawasan Misfalah, Makkah) termasuk kategori orang-orang serius. Kehidupan sehari-harinya hanya mengikuti muhadlarah (belajar, ngaji) di beberapa ulama Saudi, seperti Sayyid Ahmad bin Muhammad Alawi atau Syeikh Muhammad bin Ismail. Saat berinteraksi dengan mereka, topik pembicaraannya dominan persoalan agama dan sesekali berbicara tentang sosial maupun job kerja untuk memenuhi kebutuhan di sana. Aku merasa, tempat ini merupakan tempat ternyaman dan relatif selamat dari gangguan "setan yang terkutuk" berwujud manusia selama berada di sana. Itulah yang aku rasakan, dan barangkali juga dirasakan teman-teman lain yang berada di sana.
Berbeda ketika berada di luar rubath (sebutan singkat rubath al-jawiyyin). Hal paling sulit dihindari tatkala berada di luar adalah selalu berimajinasi tentang hal berkaitan dengan "esek-esek". Memang, kadang sebuah imajinasi kotor itu murni karena karakter seseorang bertipikal piktor (pikiran kotor). Tapi, imajinasi itu terkadang dipicu oleh suatu hal dan kebetulan yang hendak aku ceritakan di sini adalah imajinasi yang ditimbulkan dari sebuah kondisi.
Di sana tak jarang aku menyaksikan sesuatu yang membuat darah ini mengalir begitu cepat, detak jantung mengeras dan otak ini terasa penuh dengan sampah (lebay mode: on). Bagaimana tidak? Begitu mudahnya aku mendengar dan menyaksikan cerita pernikahan, gonta-ganti pasangan suami/istri sampai menjalin hubungan intim tanpa ikatan pernikahan. Entah itu dilakukan antara sesama Indonesia, Saudi-Indonensia maupun Banglades-Indonesia. Wajar jika imajinasiku sulit terbendung.
Selama di sana beberapa kali aku pindah tempat, dari satu teman ke teman lainnya. Justru dari sinilah aku tau kehidupan orang-orang Indonesia di sana, mulai dari pelajar, mahasiswa sampai kehidupan TKI. Barangkali Kota Jeddah di antara kota terparah, di mana kota itu secara geografis telah keluar dari dua kota suci (Makkah dan Madinah). Dilihat dari budaya pakaiannya saja telah beda, di sana lebih variatif. Di sana juga banyak dimukan wanita-wanita Philipina berlalu lalang tanpa burqa (cadar), tanpa mengenakan jilbab, dan lelaki mengenakan celana panjang dengan stelan kaus di atasnya. Tidak seperti dua kota suci, monoton jubah dan tutup kepala khas Arab Saudi.
Di kota inilah cerita ini dimulai. Pernah suatu ketika aku diberi tawaran seorang teman untuk menikahi cewek dengan dalih aku berencana tinggal lumayan lama di Saudi.
"Mas, nikah aja sama ini cewek. Dia nggak punya suami dan kamu juga lama di sini"
Perkataan itu beberapa kali saya dengar, entah itu saat makan bersama atau sedang rileks diruang tamu. Tentunya, mereka membutuhkan jawaban dengan kata-kata itu.
"Boleh. Tapi carikan 3 cewek lagi. Aku mau nikah jika 4 perawan sekaligus."
Itulah jawabanku sembari memperlihatkan tawa kecil sebagai bentuk ketidakseriusan. Jawaban itu keluar lantaran aku yakin mereka tidak akan sepakat dengan keputusanku. Sebab aku paham, sebagaimana telah aku singgung di atas, naluri seorang wanita tentu tidak akan pernah mau dimadu, lebih-lebih dengan jumlah 4 sekaligus. Haha..