Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Obat Kuat

24 November 2010   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 312 2

Beragam model layanan bermunculan; kelas tradisional, digawangi dukun kampung sampai yang terkelola modern dengan melibatkan para ahli. Buka media cetak, lembaga khusus semacam klinik atau praktek sejenis, hadir beriklan. Strategi pemasaran mereka, profesional, mengelola jasa dan layanan privat. Kerahasiaan klien adalah hal utama. Inilah era, ketika problem personal manusia yang paling rahasia, menjelma sebagai komoditi dagang, guna mengisi pundi ekonomi.

Obat kuat, ialah perlambang dari bangunan ikhtiar, penanganan masalah kurang harmonisnya hubungan suami isteri. Atau sebagai solusi instan bagi “aib kejantanan” lelaki tertentu, yang sedang bermasalah atau tidak optimal dalam ‘bertempur’.

Penyebab tak optimal ketika bertempur, bisa tersebab oleh satu item saja, semisal adanya penyakit organik tertentu. Namun boleh juga karena sesuatu yang bersifat multifaktorial, artinya ada berbagai kausa, yang butuh pendalaman. Disitu letak keunikan manusia sebagai mahluk biopsikososial nan kompleks, pendekatannya pun mesti holistik.

Izinkan saya untuk tak berpanjang tentang kajian memusingkan seperti itu. Kali ini saya ingin berkisah saja tentang pengalaman waktu SMA dulu.Saat pulang sekolah, sebelum sampai di rumah, sesekali saya sempatkan, menonton aksi penjual obat di halaman depan pasar sentral kota kecil kami, Kota BauBau.

Entah mungkin karena unik, hingga kini, detail kalimat retoris penjual obat itu masih terekam jelas; misalnya ketika penjual obat itu merayu penggemarnya (ups’..penonton maksudnya, hehe..), lewat pendekatan rasis dan diskriminatif. “Saudara-saudara sekalian, percayalah, saya tak akan menipu, buat apa saya berbohong. Jika berniat menipu maka pasti bukan saudara-saudara korbannya. Saya tak akan menipu saudara sedaerah/ sesuku saya. Kalau mau menipu, pasti orang Cina itu yang saya tipu”

Ia berkata demikian sembari tangannya menunjuk pada toko kepunyaan saudara kita etnis Tionghoa. Mungkin penjual obat berkata seperti itu, karena semua penontonnya adalah pribumi. Entah kalau kemudian penontonnya ada terselip orang Tionghoa, masihkah 'sesadis' itu?

Lanjut ia beraksi, menawarkan produk, yang diklaim sebagai obat kuat, (lho kok diklaim? Ya habis, obat itu tak menyertakan merk dan keterangan lain di pembungkus), obat itu hanya dibungkus oleh plastik bening tipis.

Saya masih hafal, ia berkata :

”Umur baru setahun jagung,

darah baru setampung pinang,

tembakan masih otomatis,

tanding tembak dengan tentara Inggris, belum tentu kalah,

tentara Inggris menembak, semakin ke bawah semakin tak kena,

bawa sama saya, semakin ke bawah semakin kena.

Kakaro mamana anne peelu salaamati (ibu, Segeralah berdiri/ beranjak pergi dari sini –ranjang -, jika ingin selamat)”

Wah…wah…, kalimat itu terucap penuh daya magis, tanpa jeda. Penonton terpukau, si orator pasar pun menyambung : ”Bila hasrat itu tiba, maka sebelum berlayar menyeberangi ‘selat malaka’, maka oleskanlah obat ini di atas kepala anda. Tapi ingat ya, jangan oleskan di atas ‘kepala susah’ (ia melotot sedikit, sembari telunjuknya menempel di kening). Oleskan ini obat di atas ...... (sambil berkata demikian, ia tertunduk ke bawah melihat ke arah ‘itu’)”

Masih banyak istilah dan kosakata baru, dilepas pada penonton. Termasuk pula kami, anak SMA, yang singgah sejenak di lapaknya. Kala itu saya terpukau oleh kemampuan komunikasinya. Ia begitu percaya diri, membetot atensi pengunjung pasar dan ‘mendikte’ dengan sebentuk sugesti yang sepertinya masuk akal. Entah dia berguru dimana ya? Kok kemampuan berpidatonya mengalahkan guru bahasa Indonesia kami.

Oh, ya selain itu, ia pun menebar bumbu, mengurai kisah dari tokoh legendaris terkenal. Misalnya cerita di balik layar, mengenai rahasia keunggulan Soekarno, sehingga dikagumi banyak wanita, kehebatan petinju nasional Elyas Pical, atau berpanjang lebar ihwal kekuatan Mike Tyson, dari sudut yang belum terjamah media.

Saya kagum, sebab seolah-olah, apa yang disampaikan adalah fakta yang tak usah diverifikasi dan diragukan. Ya, tukang obat tadi tampil meyakinkan. Tegas. Menjerat kesadaran dengan sugesti.

Itulah letak kekuatannya, ia tak berani mencela apapun dari penonton, ia menyanjung setinggi langit tentang kehebatan daerah kami, kejayaan kesultanan di masa lalu dan sebagainya. Sebaliknya ia pun begitu mafhum bahwa sebenarnya secara sosiologis, tanpa kami sadari ada ‘semacam’ perasaan terkalahkan oleh saudara-saudara kita etnis Tionghoa yang piawai berdagang.

Saya terkenang kembali kisah itu, setelah semalam, seorang kawan minta ditemani, untuk menengok tetangganya yang ‘terserang’ sejenis ‘kepanikan’ akibat stressor yang memberat. Kami berdua lalu menuju rumah si korban. Di tengah keliling orang serumah, saya melihat, tubuh korban menegang, seluruh persendian kaku, otot-otot mengeras, mulutnya merintih-rintih. Mereka berkata, orang ini kemasukan…, tolong panggilkan ‘orang pintar’. Wah, cari dimana ‘orang pintar’ malam-malam begini?

Apa yang harus kami lakukan? Seketika saya mengingat tukang obat tadi. Sembari membaca sejumlah ayat dalam kitab suci, saya pun memegang tangannya, dingin, kaku. Sedih melihatnya. Kami berusaha dengan lembut menggerakan tangannya, ada tahanan, sukar digerakkan. Berdiam sejenak, lalu mencoba lagi, sambil melakukan cara itu, kami berbisik pelan kepadanya, kami memberi sugesti, saya katakan “Bagus, jangan dilawan, tarik napas dalam-dalam, ah, bagus ini ada perbaikan, keadaanmu akan membaik, terus tarik napas dalam, bagus, rilekskan tubuhmu, jangan dilawan …” dan seterusnya…

Kami terus memberi kalimat positif, meniupkan sugesti kebaikan, sugesti positif.

Alhamdulillah, cara ini berhasil, sekitar 20 menit, dia kembali ke keadaan semula, dia segar kembali. Saya heran, kok bisa ya?

Sugesti positif memang Luar Biasa…

Foto dari www.newrinkles.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun