Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Perempuan - Lelaki, Siapa di Atas Siapa?

8 Oktober 2010   03:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:37 237 0
jangan pandang rendah perempuan !

Siapa lebih cerdas, perempuan atau lelaki? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, apalagi disimpulkan. Yang dapat dilakukan ialah mengakui bahwa keduanya, lelaki dan perempuan lahir berbekal potensi khas masing-masing. Kelebihan potensial mereka tercipta untuk berdialektika dalam interaksi dinamis, sebuah dialog kasih yang tanpa habis.

Lelaki dengan sifat jantan dan perempuan dengan lembut, tentu masih besar celah untuk diperdebatkan. Bahwa kecenderungan insaniah yang kita sangkakan sebagai atribut kelelakian atau kewanitaan sesungguhnya tak bisa berlepas diri dari pengasuhan lingkungan. Skenario bahwa lingkungan punya andil besar bagi terbentuknya karakter diri.

‘‘Nasib seseorang mencerminkan karakternya. Sementara karakter berasal dari semua kebiasaan serta tindakan. Tindakan berasal dari pikiran, pikiran berasal dari perasaan. Nasib, karakter, kebiasaan dan tindakan adalah sesuatu yang tampak. Sementara pikiran dan perasaan adalah energi kuantum yang tak tampak’’(Erbe Sentanu)

Menurutku pikiran dan perasaan itu kulminasi dari dua arus besar, diri kita dan diri lingkungan. Saling mempengaruhi, tikam-menikam. Tak berdiri sendiri.

Mari kita sederhanakan. Sebagai contoh, fenomena maraknya jurusan medis di kampus-kampus kita, lebih didominasi oleh perempuan. Lihat saja, sebagai contoh kecil fakultas kedokteran di tanah air kebanyakan dihuni oleh para mahasiswi. Di kedokteran gigi jumlah perempuan sekitar 70-80 %, malah singkatan FKG (Fakultas Kedokteran Gigi) diplesetkan sebagai Fakultas Kebanyakan Gadis, FKM perempuannya lumayan banyak, keperawatan jangan ditanya lagi, perempuan menjadi mayoritas, fisioterapi, akademi gizi dan sekolah kesehatan yang lain. Setidaknya itulah pemantauan amatiran saya terhadap disiplin kesehatan di Universitas Hasanuddin atau yang lebih luas di sekitaran Sulawesi Selatan.

Lalu kiranya sah-sah saja bila kita mensinyalir betapa disiplin medis mungkin lebih dekat dengan sisi keibuan dari perempuan. Merawat, memelihara dan mengobati itukan sifat-sifat bumi sebagai perlambang klasik dari jiwa ibu. Ataukah memang disiplin kesehatan tak begitu diminati oleh lelaki karena kurang ‘jantan’, kurang ‘berotot’ ?

Atau karena adanya perbedaan peluang antara perempuan dan lelaki. Amati saja, selepas lulus SMA, lelaki leluasa bergerak memilih bidang dan keterampilan tertentu. Para lelaki bisa menjadi tentara, polisi, masuk sekolah pelayaran, memilih jurusan teknik, masuk balai latihan kerja, tukang ojek, supir taksi, pelaut, satpam, perampok, teroris, pemain bola dan sebagainya. Lelaki dapat kemana saja tanpa perlu banyak pertimbangan. Beda dengan perempuan, sejak lahir sampai besar butuh perhatian dan perlakuan ekstra baik oleh orang tua, lingkungan maupun tempat kerja.

Atau boleh jadi perempuan memilih medis sebagai tempat mengabdi karena bidang itu relatif membuat mereka leluasa mengaktualkan potensi. Di fakultas kedokteran misalnya, perempuan terlihat lebih telaten belajar, detail menelisik hingga hal-hal rinci, sanggup berkonsentrasi penuh. Atau jangan-jangan memang karena sekarang inilah zamannya perempuan. Bukankah kejayaan itu dipergilirkan Tuhan di antara hamba-Nya?

Perempuan lebih cerdas kata kawan saya. Bahwa banyak ilmuwan berjenis kelamin lelaki itu bukan karena lelaki lebih cerdas dari perempuan, tetapi karena dahulu dan juga kini, akses perempuan atas sumber pengetahuan masih terbatas, setidaknya bila dibanding dengan peluang kaum lelaki secara umum. Pun kalaupun mereka sempat mendalami bidang ilmu tertentu tokh tetap saja "dikejar" oleh keharusan kultural fitrawi, meluangkan waktu untuk mengurus suami, anak-anak, arisan dan sebagainya.

Bagaimana menurut anda, sahabat Kompasianer ?

foto pinjam dari om Google

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun