Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mukjizat Nabi dan Hukum Alam (1)

20 Februari 2014   12:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:39 3710 0
Setiap nabi dan rasul dibekali dengan mukjizat. Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa (khaariq li al-`aadah) yang terjadi pada nabi dan atau rasul. Disebut luar biasa, karena mukjizat keluar dari sunnatullah. Misalnya, api yang panas menjadi dingin. Batu yang keras bisa mengeluarkan air. Dan lain sebagainya.

Selain sebagai tanda-tanda kenabian, mukjizat adalah juga sebagai hujjah kebenaran yang dibawakan oleh para nabi.

Karena bersifat luar biasa, sebagian dari kaum mereka menyebut mukjizat para nabi itu sebagai sihir. Dan mereka menyebut para nabi sebagai tukang sihir. Mereka merasa takjub dengan mukjizat yang mereka lihat. Tetapi karena kekufuran mereka, dan karena mereka tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh para nabi, maka mereka sebut mukjizat itu sebagai sihir.

Dengan menyebut sihir, mungkin mereka berpikir bahwa mereka tidak bersalah ketika menentangnya, karena yang mereka tentang adalah sihir. Jika sihir adalah jahat, maka penentangnya adalah orang baik atau benar --begitu barangkali yang ingin mereka sampaikan. Ini bisa menjadi bagian dari "perang psikologis" untuk merebut pengaruh dan simpati publik. Harapannya adalah agar masyarakat waktu itu tidak mengikuti para nabi, dan berada di pihak para penentang itu...

Orang-orang kufur pada masa para nabi hidup, menyebut dan menuduh mukjizat sebagai sihir. Sekalipun mereka terpana dengan mukjizat para nabi, namun mereka tidak mau mengakuinya mukjizat.

Bagi umat beriman, keberadaan mukjizat para nabi adalah bagian yang harus diimani. Mereka harus mengimani bahwa mukjizat itu benar-benar ada, benar-benar terjadi.

Akan tetapi, ada sebagian orang dari umat Muslim yang melihat mukjizat tidak sebagaimana adanya. Mereka menafsirkan mukjizat itu secara metaforis. Mereka mengakui adanya mukjizat, tapi melakukan takwil atasnya agar tetap rasional di mata mereka. Mereka ingin merasionalkan mukjizat, agar tetap tidak bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam)...

Sebagai contoh, mukjizat Ibrahim yang membuat api yang panas menjadi dingin dan damai baginya (bardan wa salaaman)... Mereka menakwilkan bahwa yang dimaksud dalam peristiwa Ibrahim ini bukan api fisik yang memang panas dan membakar. Melainkan, api di situ adalah metafor dari kemarahan Namruz yang sangat besar. Dengan hujjahnya, Ibrahim berhasil menjadikan kemarahan Namruz menjadi dingin dan keselamatan, serta tidak mencelakakannya.

Tongkat Musa yang menjadi ular dan melahap ular-ular para tukang sihir ditakwilkan sebagai metafor dari kekuatan hujjah Musa yang berhasil membungkam para penyihir. Pukulan tongkat Musa ke batu yang memancarkan 12 mata air juga ditakwilkan sebagai metafor keberhasilan Musa yang membuat hati kaumnya yang keras sekeras batu itu menjadi 12 kebijaksanaan yang sejuk menyejukkan, sesejuk mata air.

Isa menyembuhkan orang buta ditakwilkan sebagai menyembuhkan mata batin kaumnya dari yang semula kufur menjadi menerima kebenarannya. Peristiwa Isa menghidupkan orang mati, ditakwilkan sebagai menghidupkan hati kaumnya yang semula telah mati menjadi hidup kembali.

Begitu seterusnya...

Mereka menakwilkan mukjizat, agar tetap rasional di mata mereka dan tidak "melanggar" sunnatullah atau hukum alam secara fisika. Dengan cara berpikir begitu, terlihat bahwa mereka tidak mempercayai mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa. Karena, sesuatu yang luar biasa itu "dibiasakan" oleh pemahaman mereka. Dalam pandangan mereka, mukjizat yang luar biasa bagi para nabi itu sebenarnya tidak ada.

Dengan begitu, sekalipun mereka mengaku mempercayai mukjizat yang disebutkan dimiliki oleh para nabi, maka dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya mereka tidak mempercayai mukjizat (mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa)... Karenanya mereka tidak menerima mukjizat Nabi Muhammad Saw yang bisa membelah bulan dan peristiwa-peristiwa luar biasa beliau lainnya...

Ketika mukjizat para nabi ditakwilkan secara metaforis seperti di atas, dan dijadikan sebagai sesuatu yang biasa, maka ini konsisten dengan cara pandang yang melihat para nabi sebagai Manusia Biasa. Manusia biasa hanya dapat melakukan sesuatu yang biasa. Dan sesuatu yang biasa hanya dilakukan oleh manusia biasa.

Lalu, jika mukjizat dipahami demikian, maka apa bedanya para nabi dengan manusia-manusia biasa pada umumnya? Ya itu, kata kelompok yang memandang para nabi sebagai manusia biasa, bedanya adalah karena para nabi menerima wahyu. Sedangkan manusia-manusia lain, tidak....!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun