Tapi jika penetapan itu diambil setelah deklarasi, agaknya akan sulit berpindah dukungan saat pemungutan suara. Jika pun ada, kemungkinannya tidak sebesar jika penetapan itu terjadi sebelum deklarasi.
Jika pun dikatakan bahwa kedua capres sama-sama bervisi bagus (misalnya tentang kemandirian pangan, kedaulatan energi, kepribadian bangsa, dan lain-lain), pendukung pasca deklarasi itu akan tetap pada pilihannya.
Misalnya ia menginginkan figur pemimpin yang tegas, lalu diperlihatkan bahwa kedua capres sama-sama tegas, ia tetap takkan beralih dukungan atau pilihan.
Atau misalnya ia menginginkan figur pemimpin yang merakyat, lalu diperlihatkan bahwa kedua capres sama-sama merakyat, ia tetap takkan beralih dukungan atau pilihan.
Atau misalnya ia menginginkan figur pemimpin yang diharapkan membawa perubahan positif, lalu diperlihatkan kepadanya bahwa kedua capres sama-sama menawarkan harapan tersebut, ia tetap takkan beralih dari pilihan dukungan yang sudah ia tetapkan pasca deklarasi.
Agaknya benar, bahwa bukan program, juga bukan visi-misi, yang menjadi faktor penentu seseorang menjatuhan pilihan dukungan kepada seorang capres.
Itulah sebabnya acara debat capres-cawapres takkan berpengaruh pada perubahan dukungan pilihan. Acara tersebut hanya untuk mengonfirmasi tentang si A dan si B di mata para pendukungnya yang sudah memantapkan pilihan.
Bahkan visi-misi-program capres juga agaknya tidak terlalu menentukan bagi para undecided voters, orang-orang yang belum menentukan pilihan tersebut. Sebab, ketika kedua capres sama-sama bervisi-misi dan berprogram yang mirip-mirip atau bahkan sama, maka yang menjadi penentu pilihan itu bukan pada visi-misi dan program...
Lalu apa, kalau begitu...?
Mungkin, yang pertama, bisa otentisitas figur di mata mereka. Yang dimaksud otentisitas di sini adalah apakah si figur mempunyai keotentikan antara kata-kata dan perbuatan, antara orasi dan tindakan.
Yang kedua, afiliasi personal. Seseorang biasanya mengidentikkan orang dengan dirinya. Jika dalam diri capres ada kemiripan atau kesamaan dengan dirinya, baik dalam cara berpikir, pemahaman, atau bahkan juga karakter, maka ia akan cenderung memilih capres yang relatif sama dengan dirinya. Ia menempatkan sosok capres sebagai afiliasi bagi dirinya, atau cerminan dirinya, atau harapan dirinya.
Yang ketiga, bisa juga unsur emosional. Unsur ini bagi banyak orang bisa jadi sangat dominan. Capres yang bisa menyentuh sisi-sisi emosional para pemilih, sangat berpeluang merebut hati mereka dan menggerakkan mereka memilihnya.
Disebutkan bahwa dunia sekarang bersifat Venus, bukan Mars. Dunia saat ini cenderung emosionalistik, lebih besar daripada rasionalistik. Faktor emosi lebih kuat daripada faktor rasio.
Sekalipun seorang calon itu pintar atau rasional, namun jika ia tidak menyentuh sisi-sisi emosional para pemilih, maka para pemilih akan mengabaikannya dan lebih cenderung memilih capres yang mampu menyentuh sisi emosional mereka.
Sebagai contoh, ada seorang pengurus partai justru menyatakan terang-terangan tidak mendukung calon yang diajukan partainya, melainkan terang-terangan memilih capres lain, dan mengajak teman-temannya melakukan hal yang sama. Dan katanya alasan ketetapan pilihan itu sederhana.
Beberapa waktu sebelumnya ketika ia hendak bertakziah ke rumah duka seorang tokoh politik yang meninggal, ia tidak bisa turut masuk ke rumah duka karena dihalangi oleh bagian keamanan --padahal teman-temannya bisa masuk dengan leluasa. Ia tertahan di depan pintu.
Seketika ia kaget karena tangannya dipegang oleh seseorang --yang kelak jadi capres-- dan mengajaknya untuk ikut masuk, lalu memberinya tempat duduk di tempat yang seharusnya menjadi tempat duduk si capres tadi. Dan ia duduk di samping capres tersebut. Kata orang tersebut, itulah pengalaman yang menyentuh hatinya. Sehingga katanya, jika hati telah disentuh, maka tak seorang pun bisa mengubah dirinya.
Dalam bahasa lain mungkin begini, "Jika hati telah dibeli, maka tak satu pun kekuatan yang dapat mengubah seseorang."
Seperti menyebut nama "orang kecil" di pentas debat capres, misalnya, yang disaksikan oleh jutaan pasang mata di negeri ini, itu adalah bagian dari upaya menyentuh hati rakyat. Terutama orang yang disebut namanya, jelas akan merasa tersanjung. Dan bagi mereka yang menyaksikannya, itu juga berdampak secara emosional, makes senses.
Dalam dunia bisnis, hal seperti itu disebut dengan "emotional marketing".
Emotional marketing lebih kuat, lebih efektif dan lebih produktif ketimbang rational marketing.
Karenanya, unsur hati jelas sangat penting. Oleh sebab itu, kepada kedua capres saat ini, seharusnya keduanya menerapkan seni emotional marketing. Selain rational marketing diperlukan, tapi yang tidak kalah penting adalah ini: emotional marketing...
Agaknya, (1) otentisitas, (2) afiliasi personal, dan (3) sentuhan emosional inilah yang akan menjadi penentu kemenangan dalam kontestasi yang seru dan menarik ini...
Masih ada waktu...!
Salam kreatif...!
Bandung, 17 Juni 2014