Saya bau kenal Fitri.
Sayadan Fitri, jelas juga bukan bersahutsahutan seperti Ruhut Sitompul dan Boni Hargens. Jauhlah itu. Yang jelas kami tidak sekelas Ruhut ataupun Boni. Jelas tidak sekelas. Yang pasti saya bukan anggota DPR yang punya privilege bekoar seperti Ruhut. Dan, apalagi saya bukan pengamat politik dari universitas negeri ternama seperti Boni Hargens. Entahlah dengan Fitri, apakah dia makhluk jadi jadian, atau makhluk secantik fotonya.
Bersahutsahutannya saya dengan Fitri menjadi menarik perhatian saya. Jelasnya, Fitri menarik perhatian saya. Lagi lagi karena melihat wajahnya yang menawan. Maksudnya fotonya. Entah fotonya atau di download darimana.
Dia modis, dia berhijab. Hijabnya warna keemasan, dan matanya indah dalam sapuan eye shadow yang tepat.
Saya tertarik dengan hijab Fitri.
Saya tahu ada dua penggemar hijab, izinkan saya mengatakan penggemar. Memakai hijab karena takut neraka, ya itu kata lain menuruti perintah agama. Dan hijab, sebagai hidayah dan fashion.
Saya punya dua nenek. Jika ada yang punya lebih dari dua nenek ya itu rejekinya. Tapi saya punya dua nenek, dari ayah dan dari ibu. Kedua nenek saya sampai tua memakai sarung dan kebaya. Pada zaman sekarang saja tidak ada nenek pakai rok mini, apalagi zaman nenek nenek saya. Mereka bersarung dan berkebaya.
Saya bukan orang Jawa. Lahir dan besar di Jakarta. Tidak pernah pulang kampung.
Sebagai anak bungsu dari keluarga besar, tidak heran saya lahir nenek saya sudah kelihatan sangat nenek nenek. Karena nenek saya pasti kawin muda dan anaknya memang banyak. Setahu saya, dan ini pasti saya juga hanya punya dua kakek, dari pihak ayah dan ibu. Tidak pernah terdengar kakek kakek saya menyimpan nenek nenek secara gelap selain nenek yang saya kenal.
Saya sempat bertemu dengan nenek saya dari pihak ayah, tapi saya tidak pernah bertemu dengan nenek dari pihak ibu. Tapi nenek saya dari pihak ibu, dari fotonya, berkebaya dan bersarung motif Pekalongan, dengan rambut panjang yang disisr sederhana dikonde, di mata saya begitu cantik dalam kesederhanaannya. Begitu juga nenek dari pihak ayah yang mencapai umur lebih dari 90 tahun dan sehat hingga saatnya tiba.
Mereka punya selendang. Mereka pakai untuk mengerudungkan kepala mereka. Rasanya itu supaya terhindar dari terik matahari. Dan, juga mungkin penutup leher dikala hari berangin, takut masuk angin, maklum sudah nenek nenek. Setahu saya, itu memang adat mereka.
Ya, cukup cerita tentang nenek nenek, saya ingin kembali ke Fitri, teman baru, teman maya yang cantik rupawan.
Setahu saya, izinkan saya menyampaikan pengetahuan saya yang cuma setitik di alam semesta yang begitu luas ini.
Jikalah, di jazirah Arab sana, para perempuan berjilbah dan berhijab. Saya membayangkan betapa beraksaranya Paul Coelho menggambarkan kemisteriusan gurun. Gadis gadis sejazirah gurun, harus tumbuh dalam kerudungnya karena angin menerbangkan abu abu halus pasir gurun yang jika dibiarkan agar membuat rambutnya gimbal, lengket bercampur pasir. Bayangkan rambut rambut hitam nan lebat yang memang begitu menurut rasnya.
Bayangkan gadis gadis gurun, yang harus bolak balik ke sumur sumur klan yang bukan terletak di samping rumah mereka, tapi di oase oase yang bisa menyulut perang.
Bayangkan tubuh tubuh semampai itu diterjang uap panas di tenha bara matahari. Dan tubuh tubuh muda itu diserang angin musim dingin. Menutup tubuh adalah kebijakan alami.
Belum lagi, sumur sumur yang bisa menyulut perang sudah pasti tempat persinggahan para musafir, para khafilah yang sehaus unta mereka. Dahaga unta dan tuannya terpuaskan dengan air oase. Tapi, bayangkan kehausan berhari hari dalam perjalanan jika melihat tubuh yang tersingkap sedikit saja. Bayangkanlah, pria pria gurun didera kehausan seperti apa. Bahkan suara seorang gadis, kemilau rambut gadis gadis gurun itu seketika membuat mereka dapat berseteru membagi hak untuk menunaikan kewajiban hajat mereka.
Tapi kembali ke Fitri yang begitu cantik berhijab, dan semakin cantik dengan polesan make up yang sewajarnya.Berhijab tapi tetap menarik perhatian saya? Jelas, saya yang salah. Tidak perlu mencari kambing hitam, karena kambing putih lebih susah lagi dicari.
Jika dibaca kitab suci itu, sekaligus dengan haditznya, berhijab adalah untuk tidak menarik perhatian mata lelaki yang mengendusnya mengikuti naluri. Sekujur tubuh harus ditutupi, kecuali mata. Ya kalau matanya juga tertutup akan merepotkan untuk bisa jalan. Begitulah di jazirah, lelakinya yang bahkan untuk mendapatkan air harus berperang. Di oase oase itu bahkan menjadi tempat yang sangat tidak aman dan nyaman bagi perempuan, yang bisa ditarik ke balik perdu di bawah pohon kurma. Maka ditutupilah mereka itu.
Perempuan dilarang baca, bahkan sampai sekarang penafsiran masih domain laki laki yang haram hukumnya bagi perempuan. Tafsiran monipolistik, yang sekarang, akhirnya, banyak di terjang.
Perempuan Indonesia pun begitu ingin menjadi menjadi kekasih kekasih Allah. Mereka mendengarkan anjuran yang tentu aktanya sudah dikaji, menutup aurat ganjarannya surga. Tetapi benarkah untuk agama?
Berhijab di Indonesia dengan tetap menghiasi hijab hijabnya, menghiasi wajahnya. Menutupi tubuh tetapi terasa setiap lekuknya.
Saya sedang tidak membicarakan Fitri seorang. Saya sebetulnya juga bukan mau membicarakan hijabnya.
Yang saya perhatikan adalah sarkasmenya tentang kawin siri. Kawin siri begitu absurd dan harus berani dkatakan di Indonesia telah  semakin diperkosa maknanya. Antara yang dianut Syiah itu, apakah namanya kawin mut'ah, kawin siri, sudah tidak dilihat lagi dogma dogmanya, alasan satu satunya hanya supaya tidak berbuat zina.
Tanyalah mahasiswi mahasiswi muda belia itu. Diam diam banyak mereka yang sudah melaksanakan kawin siri dengan sesama teman mahasiswanya. Lagi lagi supaya tidak mengundang fitnah dan tidak mendorong mereka berbuat zina. Sebagaimana kawin siri, merekapun bercerai diam diam.
Betapa akan menjadi munafiknya kita, mengkritik habis habisan gaya hidup Barat yang kita anggap gonta ganti pasangan semudah mengganti baju, walau sebenarnya bukan begitu, dan disini dengan praktek kawin siri yang bahkan tidak perlu saksi saksi lagi. Sibuk mencari mazhab yang paling memudahkan untuk menyalurkan syahwat, dan maunya tanpa dosa. Ternyata, salah satu alasannya juga karena takut dosa. Tapi bukankah sebetulnya sama saja. Disana tanpa agama, disini pakai agama. Terus apa bedanya jika yang dimaksud adalah mereka sudah cukup dewasa dan hormon mereka berteriak teriak minta jalan keluar dan mereka membutuhkan sex. Ya sebutlah cinta.
Bersahusahutanlah saya dengan Fitri entah dimana ujungnya.
Tetapi inilah kita, sebetulnya jika kita percaya dunia ini bulat maka yang ada hanya sumbu di tengahnya. Poros porosnya menghubungkan kedua belah sisi sisnya dan kita hanya tahu sepenggal sepenggal saja.
Yang namanya hormon, kematangan biologis, libido, sex tidak mengenal suku, ras, golongan dan agama, bahkan harus dibilang sudah pasti tidak mengenal partai politik. Yang membedakan satu sama lain hanyalah mampu menahan diri dan mampu memenuhi hak hakiki secara resmi. Bahwasanya janganlah menyakiti hati perempuan, menghormati cinta, menhargai kesetiaan, itu tambahan penting yang datang dari hati yang membedakan kita dengan binatang.
Kita yang akan menentukan konstruksi sosial apa yang ingin kita bangun di Indonesia. Yang pasti kita semua kecewa ketika melihat seorang Presiden Parpol pengusung agama ternyata menikahi seorang anak SMA. Istri pertama beranak 12, dan suami asyik kawin lagi. Ada pejabat yang kawin siri, kawin dan cerai tanpa alasan kecuali membawa nama Tuhan dan mengatakan itu sudah ditakdirkan. Melihat seorang lelaki politisi menikahi beberapa perempuan, difoto bersama, berjejer, kelihatan rukun, Â bahkan dalam wawancara, hati kita tetap ikut terluka seberapapun mereka mengaku bahagia. Kita akan selalu bertanya apakah itu semua benar adanya. Apakah jika suatu waktu harta si lelaki terhempas kemesraan beramai ramai itu bisa dipertahankan?
Lagi lagi alasan yang sering dipakai adalah untuk mencontoh Nabi. Apanya yang dicontoh?. Seorang Aa Gym sekalipun tidak bisa berkilah bahwa ia mengawini perempuan lain hanya untuk memuaskan libidonya. Jangan bicara tentang cinta, jika seorang lelaki yang menjadi panutan punya istri cantik dan anak 7 ternyata hijau juga melihat perempuan molek yang memang tertarik padanya.
Ah, sudahalah perlukan kita berseteru sampai membawa bawa agama, jika menikah itu adalah sebagai sarana dengan apapun tujuannya. Secara hakiki sebetulnya manusia hanya perlu satu manusia dalam pernikahannya. Jika lebih dari itu, ya terimalah konsekuensinya.
Itu saja.
Saya tidak tahu, apakah saya akan bersahutsahutan kembali dengan Fitri Sulastri.