Tetapi “banarkah bahwa Tuhan Yang Mahapelidung itu ada? Benarkah bahwa Yang Mahaadil itu ada? Apakah benar bahwa DIA itu Mahatahu?” Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, banyak jawaban yang dicari jawabnya dari ayat-ayat dalam kitab suci yang sering kali maknanya ditafsirkan keliru.
Lagi pula apakah bisa dijamin bahwa para ulama akan memberi jawaban yang sama? Apakah pertanyaan ”benarkah Tuhan itu Mahakuasa,” hanya perlu jawaban “ya” atau “tidak?”
Pertanyaan-pertanyaan demikian bukan sekadar butuh jawaban yang hanya bisa dipilih—ya atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali memerlukan jawaban dengan pembuktian yang bisa dipertanggungjawabkan.
Jawaban yang diperlukan adalah jawaban seperti yang lazim dilakukan para ilmuwan.
Kalau jawabnya “benar,” pasti bisa dibuktikan dan tak bisa disangkal. Demikian pula sebaliknya. Kalau jawabnya “tidak benar,” harus bisa dibuktikan bahwa memang “tidak benar.” Semua kitab suci pun harus bisa dibuktikan kebenarannya. Termasuk Alqur’an.
Semua kitab suci diterima oleh penganutnya bukan atas dasar karena isinya “dipercaya” kebenarannya. Melainkan karena terbukti kebenarannya.
Segala pertanyaan tentang ketuhanan perlu jawaban jelas, yang menentramkan dan mencerdaskan. Bukan jawaban yang membuat tambah bingung mereka yang bertanya. Bukan pula jawaban yang menimbulkan sanggahan-sanggahan. Bukan jawaban berdasar pendapat orang lain yang ditulis—yang tidak bisa membuktikan apa-apa.
Jawaban yang benar, atas pertanyaan-pertanyaan tentang ketuhanan, selalu menghadirkan pencerahan dan menumbuhkan pengertian-pengertian baru yang rasional dan universal, yang sebelumnya tidak terpikiran.