Di dunia yang penuh dengan perubahan dan ketegangan, kita sering kali terjebak dalam upaya mengejar kemajuan teknologi, kekuasaan, dan kontrol atas segala hal. Namun, apa sebenarnya yang kita kejar? Keabadian melalui teknologi, kekuatan yang lebih besar, ataukah kita mencari keseimbangan dan keharmonisan dalam hidup yang lebih sederhana namun bermakna? Mari kita menyelami inti dari pencarian ini dengan mengintegrasikan filsafat Sunda yang mendalam, teori-teori global tentang peradaban, serta konsep kosmologi dan sistem sosial yang dapat memberikan panduan menuju keseimbangan.
Filsafat Sunda memiliki prinsip-prinsip yang sangat kuat dan mengakar, salah satunya adalah Rumingkang Buana, yang mengajarkan kita bahwa manusia, lingkungan ekosistem, dan semesta adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ajaran ini mengajarkan bahwa hidup harus berjalan seiring dengan hukum alam, sebuah pandangan yang tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan sehari-hari, tetapi juga selaras dengan Model Standar Fisika Partikel dan Model Standar Kosmologi.
Tri Tangtu Buana, dengan ajarannya mengenai tiga dimensi kehidupan yang terdiri atas alam nyata, alam gaib, dan alam batin, mengajak kita untuk melihat dunia ini dalam kesatuan yang utuh, bukan hanya dari sudut pandang material, tetapi juga dari dimensi spiritual dan mental. Pandangan ini sejalan dengan Model Standar Fisika Partikel, yang menggambarkan dunia materi sebagai sebuah struktur yang penuh dengan interaksi dan partikel-partikel dasar yang saling terkait. Melalui pemahaman ini, kita diingatkan bahwa dunia materi tidak hanya terdiri dari benda-benda yang terpisah, tetapi semuanya memiliki hubungan yang saling mempengaruhi.
Selain itu, Rahayu Jagad Alit mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara dunia kecil (individu dan partikel elementer) dan dunia besar (semesta). Dalam konteks Model Standar Fisika Partikel, Rahayu Jagad Alit menggambarkan dunia subatomik yang penuh dengan partikel-partikel dasar seperti quark dan elektron, yang berinteraksi dalam struktur yang sangat halus dan terorganisasi. Rahayu Jagad Gede, di sisi lain, mencerminkan Model Standar Kosmologi, yang menggambarkan alam semesta dalam skala besar, dengan hukum-hukum yang mengatur pergerakan galaksi, pembentukan bintang, serta distribusi materi gelap dan energi gelap. Ini mengingatkan kita bahwa keseimbangan alam semesta tidak hanya ada di tingkat mikroskopis tetapi juga dalam kosmos yang jauh lebih besar.
Konsep harmoni juga tampak dalam filsafat sistem pertanian orang Sunda yaitu nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun.
Konsep nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun adalah prinsip-prinsip penting dalam pertanian Sunda yang mencerminkan kearifan lokal dalam berinteraksi dengan alam. Ketiga konsep ini tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang optimal, tetapi juga menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Nyacar bermakna "menanam" atau "membuka lahan".  Tahapan ini meliputi  persiapan lahan, pemilihan bibit unggul, dan penanaman dengan teknik yang tepat.
Orang Sunda memperhatikan kesesuaian jenis tanaman dengan kondisi tanah dan musim. Â Mereka juga mengenal berbagai metode penanaman, seperti tumpang sari (menanam berbagai jenis tanaman dalam satu lahan) untuk mengoptimalkan lahan dan mencegah hama. Contohnya adalah memilih varietas padi yang tahan terhadap hama tertentu, atau menanam jagung bersamaan dengan kacang tanah untuk memanfaatkan nitrogen di udara.
Ngarumat yang bermakna "merawat" atau "memelihara". Tahapan ini meliputi kegiatan perawatan tanaman, seperti pemupukan, pengairan, penyiangan, dan pengendalian hama.
Orang Sunda menggunakan pupuk alami seperti kompos dan pupuk kandang untuk menjaga kesuburan tanah. Â Mereka juga memanfaatkan musuh alami hama untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia. Contohnya membuat rorodan (saluran air) untuk mengairi sawah, atau menggunakan tanaman refugia untuk menarik serangga predator yang memangsa hama.
Nganyarkeun bermakna "memperbarui" atau "melestarikan". Tahapan ini meliputi kegiatan pasca panen, seperti pengolahan hasil panen, penyimpanan, dan menjaga keberlanjutan lahan pertanian.
Orang Sunda memiliki tradisi menyimpan benih untuk musim tanam berikutnya. Mereka juga melakukan rotasi tanaman dan membiarkan lahan beristirahat untuk menjaga kesuburan tanah. Contohnya, menyimpan benih padi di lumbung padi (leuit), atau melakukan ngagarap (membajak sawah) setelah panen untuk menggemburkan tanah.
Konsep nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun  mengajarkan kita untuk menghargai alam dan menjaga keseimbangan ekosistem.  Petani Sunda tidak hanya mengambil hasil dari alam, tetapi juga merawat dan melestarikannya agar tetap produktif untuk generasi mendatang.
Di tengah isu-isu lingkungan seperti perubahan iklim dan degradasi lahan, prinsip nyacar, ngarumat, dan nganyarkeun menjadi semakin relevan. Â Konsep ini dapat menjadi inspirasi bagi praktik pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Nyacar dalam konsepsi yang lebih luas berarti melihat esensi kehidupan melalui kedalaman batin, mengingatkan kita untuk tidak hanya fokus pada dunia material dan teknologi, tetapi juga untuk menghubungkan diri kita dengan alam semesta yang lebih luas. Ini selaras dengan konsep AQAL (All Quadrants, All Levels) oleh Ken Wilber, yang menawarkan kerangka holistik untuk memahami dunia dalam empat dimensi yaitu kesadaran individu, tindakan individu, nilai sosial, dan struktur sosial. AQAL mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat dunia ini dari perspektif fisik atau sosial, tetapi juga memperhitungkan dimensi spiritual dan mental, yang saling melengkapi dalam penciptaan harmoni.
Nganyarkeun secara kosmologis berarti memperbarui segala hal yang telah dipakai dan digunakan, serta mewartakan kebaikan dan keadilan, serta Ngigelan Takdir, yang mengajarkan kita untuk menerima takdir dengan lapang dada. Namun, dalam menghadapi ketegangan sosial dan ketidaksetaraan yang semakin meningkat, penting untuk menerapkan prinsip Ngarumat, yang lebih mengarah pada perawatan dan pemeliharaan terhadap alam, sesama, dan diri kita sendiri. Ngarumat mengingatkan kita untuk merawat bukan hanya tubuh fisik kita, tetapi juga hubungan kita dengan lingkungan dan makhluk hidup lainnya, yang mendasari kehidupan yang lebih seimbang dan harmonis.
Berbeda dengan itu, Homo Deus dan Homo Nexus yang dikemukakan oleh Yuval Noah Harari bisa menjadi dua konsep yang menggambarkan arah kemanusiaan yang semakin mengarah pada transhumanisme dan konektivitas global. Homo Deus menggambarkan manusia yang ingin melampaui batasan biologisnya dengan menggunakan teknologi untuk memperpanjang hidup, meningkatkan kecerdasan, dan bahkan mencapai keabadian. Sedangkan Homo Nexus menggambarkan manusia yang terhubung secara langsung dengan teknologi, menciptakan jaringan global yang mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan satu sama lain.
Homo Deus dan Homo Nexus bukan sekadar pandangan futuristik tentang kemanusiaan. Mereka mencerminkan dua wajah dari ambisi tanpa batas manusia yang semakin meninggalkan kemanusiaannya. Homo Deus, dalam pencariannya akan keabadian dan kemuliaan, berambisi untuk melampaui batasan biologisnya dengan mengandalkan teknologi untuk memperpanjang hidup, meningkatkan kecerdasan, dan menghapuskan segala bentuk keterbatasan fisik. Ia ingin mengendalikan waktu, dan dalam pengendalian itu, manusia berharap bisa menaklukkan kematian. Sebuah ambisi yang, dalam kaca mata filsafat Sunda, akan membawa kita pada kehilangan keseimbangan dengan alam, sebuah pelanggaran terhadap prinsip Rahayu Jagad Alit dan Rahayu Jagad Gede, yang mengajarkan bahwa setiap makhluk memiliki tempatnya dalam harmoni kosmos.
Sementara itu, Homo Nexus merujuk pada manusia yang terhubung langsung dengan teknologi, menciptakan jaringan global yang merubah cara kita berinteraksi dengan dunia dan satu sama lain. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk memperbaiki kualitas hidup, kini menjadi kendali yang memisahkan kita dari kemanusiaan kita sendiri. Homo Nexus mungkin merasa lebih terhubung satu sama lain secara digital, namun justru semakin jauh dari esensi sejati kehidupan yaitu terciptanya hubungan yang penuh kasih sayang, kehadiran fisik, dan kebermaknaan yang hanya bisa ditemukan dalam ketidakterhubungan yang sesungguhnya dengan alam dan sesama.
Dalam filsafat Sunda, pandangan Homo Deus dan Homo Nexus ini bertentangan dengan prinsip dasar kehidupan yang telah diajarkan selama berabad-abad. Tri Tangtu Buana, yang mencakup alam nyata, alam gaib, dan alam batin, mengingatkan kita bahwa hidup harus dilalui dengan rasa saling menghormati dan menjaga harmoni dengan semua dimensi kehidupan. Teknologi yang menghubungkan kita dalam jaringan global tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan hubungan sejati dengan alam dan sesama. Nyacar, untuk merenung dan menyelami kedalaman batin, serta Ngarumat, untuk merawat dan menjaga kehidupan dengan kasih sayang, adalah ajaran yang mengingatkan kita bahwa manusia tidak diciptakan untuk menjadi abadi melalui mesin, melainkan untuk mencapai keseimbangan, yang hanya bisa dicapai melalui kearifan alam.
Pada gilirannya kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu apakah kita akan terjebak dalam ilusi kemajuan yang mengorbankan makna kehidupan yang sesungguhnya, ataukah kita akan kembali ke jalan yang mengutamakan harmoni dengan alam dan sesama, seperti yang diajarkan oleh filsafat Sunda?
Homo Deus dan Homo Nexus mungkin menawarkan kemajuan teknologi yang menggoda, namun mereka juga memperlihatkan jalan yang tak berujung dan penuh kehampaan. Sebaliknya, ajaran filsafat Sunda mengajak kita untuk menjaga keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan, agar kita tidak kehilangan kemanusiaan kita sendiri dalam pengejaran tanpa henti terhadap keabadian dan kekuasaan yang tidak sejati.
Jika kita merujuk pada AQAL, kita dapat melihat bahwa untuk mencapai harmoni yang lebih besar, kita tidak hanya harus mengembangkan aspek teknologi (kuadran kanan atas), tetapi juga perlu memperhatikan kesadaran batin dan hubungan sosial (kuadran kiri atas dan kiri bawah), serta struktur sosial dan ekologis (kuadran kanan bawah). Dengan demikian, teknologi dan kemajuan manusia harus diseimbangkan dengan nilai-nilai sosial dan kesadaran spiritual, sebagaimana diajarkan oleh filsafat Rahayu Jagad Alit Jagad Gede.
Clyodynamics yang diajukan oleh Peter Turchin juga memberikan perspektif menarik mengenai siklus peradaban dalam konteks harmoni dan keseimbangan kosmik. Turchin menunjukkan bahwa ketegangan sosial, ketidaksetaraan, dan perubahan lingkungan memainkan peran besar dalam perkembangan peradaban. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bahwa krisis yang kita alami saat ini mungkin merupakan bagian dari siklus yang lebih besar, yang mengajarkan kita bahwa peradaban harus mengatasi ketegangan-ketegangan tersebut untuk menciptakan keseimbangan. Prinsip Rahayu Jagad Alit Jagad Gede dapat membantu kita memahami bahwa untuk menjaga keseimbangan semesta, kita harus mulai dengan keseimbangan dalam diri kita sendiri, serta menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan dan sesama.
Hal ini diperkuat dengan konteks yang disebutkan dalam QS. Al Waqiah: 58-75, yang mengajarkan tentang ketahanan dan keseimbangan dalam menghadapi ujian kehidupan. Ayat-ayat ini mengingatkan kita tentang pentingnya ketahanan demografi, ketahanan pangan, ketahanan air, ketahanan energi, ketahanan ekologi, dan ketahanan teknologi. Semua hal ini berbicara tentang bagaimana kita harus merawat bumi dan menjaga keseimbangan dalam sistem sosial dan ekologi untuk memastikan kelangsungan hidup kita. Dalam kerangka Clyodynamics, ketegangan dalam sistem sosial yang tidak seimbang akan memicu krisis, yang memerlukan penanganan holistik untuk menciptakan stabilitas.
Maka, apakah kita akan terus mengejar Homo Deus dan Homo Nexus, mengejar keabadian dan kekuasaan melalui teknologi? Ataukah kita akan berhenti sejenak, seperti yang diajarkan oleh filsafat Sunda, dan mengingatkan diri kita bahwa kita adalah bagian dari harmoni alam semesta yang lebih besar? Dalam kerangka AQAL, Clyodynamics, dan ajaran-ajaran Sunda, kita diajak untuk merenung bahwa pencapaian keharmonisan global harus dimulai dengan keseimbangan dalam diri kita sendiri, baik secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Mungkin inilah solusi untuk mengatasi krisis global saat ini yaitu menyelaraskan teknologi dengan nilai-nilai sosial, spiritual, dan ekologis. Dengan pendekatan ini, kita bisa mencapai solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan, menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh harmoni, sebagaimana diimpikan oleh ajaran Rahayu Jagad Alit Jagad Gede.