Artikel sini sya tulis sebagai curhat atas kegelisahan terhadap pertanyaan reflektif saya sendiri, "Jika saya menulis artikel hasil kolaborasi dengan AI, dapatkah saya mengklaim itu sepenuhnya sebagai karya saya?", dan "Dapatkah orang-orang mendeskreditkan karya itu walaupun itu adalah karya yang bagus dalam banyak segi?", serta "Apakah kemudian karya itu menjadi publik properti sehingga siapapun boleh memanfaatkannya tanpa izin saya", juga "Jika karya itu bernilai ekonomis, apakah saya berhak sepenuhnya atas imbalannya.".
Mari kita mulai dialektika batin ini dengan sebuah analogi.
Sebuah Perjalanan Pulang yang Menggugah Pertanyaan
Setelah lelah bekerja seharian, saya memutuskan berjalan kaki sejauh 24 kilometer ke rumah. Perjalanan ini membutuhkan waktu enam jam, menguras tenaga, tetapi memuaskan karena saya merasa hasilnya adalah sepenuhnya usaha saya sendiri. Kini bandingkan, perjalanan yang sama, tetapi kali ini saya menggunakan kendaraan dan hanya membutuhkan setengah jam. Ketika sampai di rumah, pertanyaan muncul, apakah hasilnya tetap milik saya sepenuhnya, atau alat yang membantu saya ikut berkontribusi?
Pertanyaan sederhana ini membuka pintu ke masalah yang jauh lebih besar: Apa yang sebenarnya dapat kita klaim sebagai hasil kerja kita, terutama ketika teknologi seperti AI semakin mengambil alih proses kreatif? Mari kita eksplorasi pertanyaan ini lebih dalam, dimulai dari sejarah, sains, hingga filsafat.
Facebook dan Dialektika Karya dalam Dunia Teknologi
Kisah pendirian Facebook menjadi ilustrasi menarik tentang nilai kerja dan kontribusi. Eduardo Saverin adalah co-founder yang berkontribusi dalam pembiayaan awal, tetapi perannya terpinggirkan ketika Mark Zuckerberg, bersama Sean Parker dan investor lainnya seperti Peter Thiel, mempercepat pertumbuhan Facebook sebagai raksasa teknologi.
Saverin mungkin merasa bahwa usahanya yang minim tetap berkontribusi pada karya besar itu. Namun, siapa yang sebenarnya memiliki Facebook: mereka yang memberikan visi awal, mereka yang membangun teknologinya, mereka yang membiayai di awal, atau yang mengakselerasinya?
Kasus ini membawa kita pada pertanyaan yang sama di era AI yaitu jika AI menciptakan sesuatu, tetapi manusia memberikan arahan awal, siapa pemilik sebenarnya dari karya tersebut?
Nobel Fisika 2024 dan Struktur Protein oleh DeepMind
Ketika tim DeepMind menggunakan AI untuk memecahkan struktur protein yang rumit, mereka membuka jalan bagi terobosan besar dalam biologi molekuler. Hadiah Nobel Fisika 2024 pun dianugerahkan kepada penemuan ini. Namun, siapa yang sebenarnya layak mendapat penghargaan?
Apakah manusia yang merancang dan melatih AI tersebut? atau AI itu sendiri, yang bekerja hampir tanpa campur tangan manusia?
Kasus ini menunjukkan bahwa peran manusia dalam sains mungkin semakin tergeser dari kreator menjadi fasilitator. Apakah ini berarti manusia kehilangan nilai dalam proses penciptaan, atau justru menemukan peran baru dalam memberi makna pada hasil teknologi?
Dialektika Filsafat Kerja dan Teknologi
Masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan dialektika ini sudah dibahas oleh sejumlah filsuf terkemuka, tapi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang membawa proses dialektika yang lebih maju.
Karl Marx: Alienasi di Era AI
Menurut Marx, teknologi yang terlalu maju dapat menyebabkan alienasi, di mana manusia merasa terpisah dari hasil kerja mereka. Di era AI, ini semakin relevan. Jika AI melakukan proses kreatif, apakah manusia masih merasa bahwa karya tersebut benar-benar milik mereka?
Hannah Arendt: Kerja, Karya, dan Aksi
Arendt membedakan antara labour, work, dan action. AI mengaburkan batas antara labour dan work dengan mengambil alih proses kreatif. Namun, manusia tetap memiliki peran dalam action: memberi arah, nilai, dan visi. Dalam konteks ini, kontribusi manusia tidak hilang, tetapi berubah bentuk.
Martin Heidegger: Pertanyaan tentang Teknologi
Heidegger memperingatkan bahwa teknologi bisa membuat manusia melihat dunia hanya sebagai sumber daya. Dalam hubungan dengan AI, kita perlu bertanya: Apakah kita menggunakan AI sebagai alat untuk memperkaya pemahaman, ataukah AI menjadi entitas yang mendominasi kita?
Bernard Stiegler: Teknologi dan Individuasi
Stiegler melihat teknologi sebagai alat individuasi manusia. Namun, jika AI menciptakan teori dan karya secara mandiri, manusia mungkin kehilangan kendali atas individuasi tersebut. Bagaimana manusia bisa tetap menjadi subjek kreatif di tengah dominasi AI?
Luciano Floridi: AI sebagai Agen Moral Parsial
Floridi menyoroti bahwa AI memiliki bentuk agensi moral, meski terbatas. Ini berarti bahwa hasil karya AI tidak sepenuhnya bisa dianggap sebagai hasil manusia, tetapi juga bukan milik AI sepenuhnya. Kolaborasi antara manusia dan AI memerlukan sistem penghargaan baru yang adil.
Yuk Hui: Kosmoteknologi
Hui menekankan bahwa teknologi tidak netral, tetapi dipengaruhi nilai-nilai manusia. Jika AI menciptakan sesuatu, hasilnya mencerminkan bukan hanya algoritma, tetapi juga nilai-nilai yang manusia tanamkan di dalamnya.
Nick Bostrom: Superintelligence dan Masa Depan Kreativitas
Jika AI suatu hari mencapai superintelligence, manusia harus menghadapi kenyataan bahwa kreativitas bisa menjadi monopoli mesin. Dalam skenario ini, manusia perlu mendefinisikan ulang apa artinya menjadi kreator dan siapa yang layak mendapatkan penghargaan.
Perjalanan kita dari berjalan kaki, kisah Facebook, hingga penemuan struktur protein membawa kita pada pertanyaan inti, Apa artinya menjadi kreator di era AI? Apakah nilai kerja manusia akan hilang, atau justru berubah?