Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Alam & Tekno

Evolusi Biologi: Diskrit atau Kontinyu

13 Februari 2022   16:54 Diperbarui: 5 Juni 2022   13:50 516 4
Biawak dan ular sanca ditemukan di atap rumah warga sudah sering terdengar beritanya. Ular, tikus, dan kecoa pun sudah umum ditemukan di selokan ataupun saluran pembuangan di sekitar pemukiman warga. Jangan dikata yang namanya semut, lalat, dan nyamuk. Hewan-hewan sudah beradaptasi dengan lingkungan perkotaan urban dan menjadikannya juga sebagai habitat mereka.

Sementara sebagian hewan beradaptasi dengan menjadi hewan peliharaan di sangkar, kandang, kolam, akuarium, dan kerangkeng. Tumbuhan besar dan kecil harus rela pindah dari habitatnya di kebun dan hutan, ke dalam pot.

Ada hampir 9 juta species di Bumi ini, tapi baru sekitar 2 juta saja yang tercatat. Sementara ribuan lainnya sudah dinyatakan punah. Perubahan iklim, deforesisasi, dan campur tangan manusia menambah laju kepunahan hewan dan tumbuhan. Kenapa hewan dan tumbuhan itu tidak berevolusi atau bermutasi saja? Bukankah buaya, ular, dan komodo berhasil mempertahankan eksistensi species mereka masing-masing hingga jutaan tahun lamanya, kenapa hewan-hewan lainnya tidak mampu melakukan hal yang sama?

Adaptasi, dengan evolusi dan mutasi sebagai turunannya, adalah upaya suatu spsis dalam merespon perubahan lingkungannya. Suatu kebutuhan dan kemampuan alami yang bertujuan menjaga kelangsungan hidup species tersebut. Jika tidak ada perubahan dalam lingkungannya, maka evolusi maupun mutasi tidak akan terjadi. Tidak ada kebutuhan untuk itu.

Adaptasi bukanlah sebuah free will ataupun fungsi kesadaran biologis yang bisa kapan saja difungsikan jika ada kehendak untuk itu. Walaupun organ yang semakin sering digunakan secara otomatis akan semakin kuat dan fungsional, tapi ada probalitas optimasi organ itu dapat diwariskan. Kemampuan beradaptasi dan berevolusi hanya diaktifkan dengan stimulus lingkungan, bukan atas dasar kehendak sadar.

Menurut Darwin, poses di mana sebagian species punah sementara sebagian lainnya tetap bertahan hidup merupakan suatu seleksi alam. Seleksi alam menghasilkan species yang adaftif dan unggul. Seleksi alam bukan saja menghasilkan species yang lebih kompleks, tapi juga lebih kuat.

Konsep evolusi lahir dari pengamatan yang diwadahi dengan hipotesis, perspektif, asumsi, dan kerangka berpikir tertentu. Ada enam asumsi yang menjadi dasar pemikiran evolusi yang membawanya menjadi sebuah teori.

1. Asumsi Divergen. Kemiripan morpologis, fisiologis, dan genetis pada sejumlah species mungkin berasal dari nenek moyang yang sama di masa lalu. Kemiripan harimau, singa, macan, dan kucing mungkin merupakan indikasi mereka berasal dari nenek moyang yang sama.

2. Asumsi Konvergen. Suatu species mampu membangun sejumlah variasi dan diversifikasi. Sejumlah species tumbuhan mampu menghasilkan sejumlah variasi warna bunga dan motif daun membawa kemungkinan tumbuhan itu membentuk species bunga yang benar-benar baru di masa depan.

3. Asumsi Proyektif. Species-species kompleks yang ada sekarang ini mungkin saja berasal dari satu species sederhana di masa lalu. Manusia kemungkinan adalah bentuk rumit dari monyt.

4. Asumsi Regresif. Species yang ada sekarang adalah bentuk penyederhanaan dari dari species kompleks di masa lalu. Burung Kasuari adalah penyederhanaan dari burung yang bisa terbang.

5. Asumsi Homogenitas. Setiap species memiliki kemampuan alami untuk beradaptasi dan berevolusi. Ini adalah sesuatu yang built-in agar lestari.

6. Asumsi Non Linear. Laju evolusi spsis berubah-ubah tergantung waktu dan lingkungan.

Walaupun tampak bertolak belakang, asumsi-asumsi itu sama-sama membentuk bangunan konsepsi evolusi dan adaptasi.

Fakta fisiologis, morfologis, genetis, dan fosil hanyalah kepingin puzzle dan dot yang bisa direkonstruksi dan dihubungkan menjadi bangunan teori apa saja sesuai mindset dan asumsi yang dimiliki. Teori yang berbeda bisa dibangun dari fakta dan hasil pengamatan yang sama.

Argumentasi evolusi biasanya dibangun dari empat  contoh berikut ini. Contoh-contoh ini lazim ada di setiap narasi tentang evolusi.

1. Ditemukan species lele di dalam sejumlah gua gelap yang sudah hilang fungsi penglihatannya. Ada yang matanya buta, dan bahkan ada yang sudah tidak lagi memiliki mata.

2. Jerafah awalnya ada yang berleher pendek dan yang berleher panjang. Jerafah yang lehernya pendek akhirnya punah karena kalah bersaing mencari makanan di pucuk daun dari jerafah yang berleher panjang. Leher jerafah yang berleher panjang terus bertambah panjang karena terus berusaha menjangkau pucuk daun yang paling tinggi.

3. Kupu-kupu lebih dominan mengembangkan warna sayap yang semakin gelap pada habitat yang penuh polusi. Sementara di habitat yang terjaga ekosistemnya warna sayap yang cerah tetap dominan.

4. Buaya, ular, tikus, dan burung berhasil selamat dari hujan meteor sekitar 7 juta tahun lalu karena kemampuannya beradaptasi dengan kelangkaan makanan, efisiensi metabolisme, dan adaptasi pada beragam habitat.

Dari contoh-contoh ini tampak dengan jelas bahwa mahluk hidup memiliki 3 level berbeda dalam kemampuannya beradaptasi dan berevolusi.

1. Level Optimasi Diri yang terdiri kemampuan meningkatkan fungsional organ dan tingkat kecerdasan dalam menyiasati habitat dan lingkungan yang baru.

2. Level Substansi Genetik yang tergambar dari struktur dan konten genetik yang dimiliki. Perubahan fisiologis, dan morpologis yang terjadi pada species tidak bisa keluar dari struktur genetikanya.

3. Level Daya Dukung Lingkungan berupa rantai makanan dan ekosistem pendukungnya.

Lele bisa menghilangkan fungsi penglihatannya sebatas fungsi itu ada dalam optimasi dirinya, tersimpan dalam DNA informasinya, dan ada cukup makanan di dalam gua, juga tidak adanya pemangsa.

Hal serupa juga terjadi pada jerafah dan kupu-kupu. Suatu species tidak leluasa berubah jadi species apa saja secara arbitrary.

Darwin dan kebanyakan Ahli Evolusi berasumsi bahwa evolusi adalah sebuah proses kontinyu, sehingga menggambarkan proses evolusi sebagai sebuah pohon yang ada pokoknya dan  terus bercabang terus menerus tanpa henti. Eksistensi yang ada sekarang bisa diurut tanpa putus kepada species yang lebih sederhana dan serupa di masa lalu.  

Tapi hambatan pada level optimasi, level substansi genetika, dan level daya dukung lingkungan membawa kita kepada pemahaman bahwa evolusi merupakan suatu proses diskrit. Sehingga ada beragam jalan bagi kemunculan suatu species. Suatu species tidak secara linear dan tanpa putus terhubung dengan mahluk yang ada sebelumnya. Kesimpulan ini membawa kepada kemungkinan suatu species muncul begitu saja secara tiba-tiba.

Sekalipun populasi suatu species berhasil mengoptimalkan fungsi suatu organ ataupun menumbuhkan suatu organ baru ada ketidakpastian atau unsur probalitas kemampuan atau organ baru itu akan diwariskan.

Level optimasi, level substansi genetika, dan level daya dukung lingkungan bukan saja mengarahkan evolusi sebagai suatu proses diskrit, tapi membawa konsekuensi deterministik bahwa bentuk dan laju evolusi dapat ditentukan dan diprediksi.

Kesimpulan diskrit, deterministik, dan "kemunculan tunggal" di tengah dunia sains yang dipenuhi dengan kerangka berpikir yang relativistik, probabilistik, dan evolutif akan membakar penolakan, pengingkaran, dan apriori.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun