Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Jebakan Heuristik dalam Kebijakan Covid

5 Februari 2022   17:54 Diperbarui: 5 Februari 2022   17:55 336 2
Ketika angka Covid19 menaik kembali seperti sekarang ini, Pemerintah Indonesia segera saja membatalkan PTM sekolah dan melakukan segala pembatasan sosial. Kebijakan Pemerintah ini mengulang kebijakan sebelumnya. Sebuah kebijakan jalan pintas. Dalam teori psikologi ini disebut Heuristik. Kebijakan ini mengabaikan fakta bahwa 85,6% orang Indonesia sudah memiliki antibodi Covid19 berdasarkan data serulogi yang diumumkan Pemerintah Indonesia awal Januari lalu; mengabaikan fakta bahwa tingkat keparahan akibat Covid19 sudah menurun; mengabaikan fakta bahwa cakupan vaksinasi Indonesia sudah tinggi; mengabaikan fakta bahwa anak umur aktif sekolah sudah divaksin; mengabaikan fakta bahwa IFR Covid19 pada anak hampir 0 persen; dan mengabaikan fakta bahwa kehidupan ekonomi rakyat sudah banyak rusak akibat pembatasan sosial selama 2 tahun pandemi Covid19 ini.

Padahal Pemerintah Swedia dan Inggris sudah membatalkan kebijakan wajib vaksin, wajib pakai masker, dan pembatasan sosial walaupun angka Covid di masing-masing Negara itu masih tinggi. Bahkan Pemerintah Eropa yakin akan bisa menghentikan status pandemi tahun ini juga. Sementara Afrika Selatan yang menjadi sumber varian Omicron, varian virus Covid19 yang sekarang dominan, justru tetap memberlakukan PTM di sekolah. Pada titik ini, kebijakan Heuristik Pemerintah Indonesia yang seharusnya menghasilkan keputusan yang efisien malah menjadi suatu bentuk kebodohan dan kesombongan.

Heuristik adalah kemampuan psikis kognitif yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan. Slogan yang terkenal bagi Heuristik adalah Less is more. Upaya yang sedikit akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih akurat. Intinya ini merupakan suatu thnik jalan pintas dalam pengambilan keputusan.

Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait covid19 kali ini bukan saja berbasis heuristik, tapi juga sudah mengusik rasa keadilan masyarakat. Ketika PTM dibatalkan, Bandara yang merupakan episentrum awal penyebaran varian Omicron tetap dibuka. Ketika masyarakat diminta untuk ketat prokes 5M, Pejabat Tinggi Negara justru kerap mempertontonkan tidak memakai masker. Ketika rakyat dipaksa dengan wajib vaksin, sejumlah Pejabat Negara justru tidak divaksin.

Kebijakan Pemerintah ini juga kontradiktif satu sama lainnya. Kriteria pandemi covid19 ditetapkan berdasarkan angka penularan, tapi vaksinasi terus didengungkan sebagai solusi atasi pandemi, padahal secara faktual maupun sains diketahui bahwa vaksin tidak bisa mencegah penularan.

Selain Pemerintah Indonesia, sejumlah kalangan masyarakat juga terjebak dalam Heuristik. Pertama adalah jebakan Availability Heuristik dimana vaksin, masker, dan PJJ masih dianggap solusi paling logis untuk atasi pandemi ini. Padahal ada banyak cara untuk tingkatkan imun tubuh, dan banyak cara atasi keparahan akibat covid19.

Kedua, jebakan Representativeness Heuristik yang mana jika ada orang yang mengalami akibat fatal dari covid19 sebelumnya, maka sekarang pun situasinya masih sama. Jika orang bisa mati karena covid19 tahun lalu, maka saya pun bisa mati karenanya sekarang. Padahal sekarang tingkat hospitalitas rendah.

Ketiga adalah jebakan Anchoring Heuristik dimana pengetahuan tentang covid19 tidak diupdate. Mereka masih terkurung dengan persepsi bahwa covid19 adalah pandemi yang mematikan. Padahal Omicron adalah varian covid19 yang "ramah" setara flu biasa.

Heuristik adalah fungsi kognitif yang build-in dalam otak manusia yang positif berguna bagi manusia untuk menghasilkan keputusan yang cepat, efisien, dan rendah energi serta minim upaya. Sisi negatifnya sering membuat manusia apriori dan jumud. Banyak dari kita tidak bisa keluar dari jebakan Heuristik ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun