Pemberontakan itu dikenal dengan nama DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Kartosuwiryo mulai mempropagandakan pembentukan Negara Islam Indonesia pada 1948. Aksi ini dilakukan oleh Kartosuwiryo sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang harus menerima kenyataan pahit karena banyak wilayah Republik Indonesia yang harus berkurang karena perjanjian Renville yang dilakukan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang hanya mengakui Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta sebagai wilayah Republik Indonesia, tak hanya itu, Tentara Indonesia saat itu yang berada di wilayah selain yang diakui Belanda harus menarik diri sehingga membuat kekosongan militer di Jawa Barat. Â Sayangnya saat Republik Indonesia kembali menguasai seluruh wilayah di Indonesia (kecuali Irian Jaya) aksi pemberontakan Kartosuwiryo tersebut semakin meledak dan semakin mengancam kedaulatan Republik Indonesia. Seusai perjanjian tersebut, Kartosuwiryo mulai melancarkan pemberontakan serta menyiapkan berbagai keperluan untuk membentuk Negara Islam Indonesia. Awalnya gerakan ini hanya dilancarkan di Jawa Barat sebagai daerah domisili Kartosuwiryo. Sehingga pada akhirnya gerakan pemberontakan ini menyebar di beberapa wilayah Indonesia, daerah tersebut adalah Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh, Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah, Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, dan Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.