[caption id="attachment_109145" align="aligncenter" width="544" caption="Napak Tilas Proklamasi 2009"][/caption]
Refleksi 103 tahun Kebangkitan Nasional Tidak salah jika tahun ini dikatakan sebagai "the lowest point" dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ini dalam kacamata pribadi. Lihat saja, berbagai hal (dengan tidak mengenyampingkan hal-hal lain yang positif /maju) dari hampir semua bidang di negara kita banyak mengalami kemunduran. Di bidang pangan, dulu kita pernah swasembada tahun '84/'85, tapi kini kita harus impor beras, impor minyak ikan dari Jepang, juga kencur dan kunyit dari India. Dulu kita pernah berjaya ditahun 1970-an dibidang pendidikan dengan "mengekspor" guru ke Malaysia, kini negeri jiran itu jauh merasa lebih maju ketimbang kita, bahkan sekolahnya lebih ternama ketimbang sekolah-sekolah di negara kita, Indonesia. Titik terendah yang dimaksud disini adalah titik dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak mengenal siapa dirinya, siapa Indonesia itu seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Salah satu cara untuk mengenali diri dan siapa Indonesia itu kita bisa mengenalnya melalui pemahaman sejarah. Karena dengan memalui sejarah, jati diri, identitas dan rasa nasionalisme dapat dibangun kembali. Ciri lain dari masyarakat kita adalah memudarnya kepekaan sosial dan "keutamaan budi" (Boedi Oetomo) yang seharusnya menjadi ciri dari bangsa Indonesia. (Terlepas dari adanya kontroversi sejarah mengani hal tersebut. So, jangan dibahas di sini!).
Prestasi Beberapa hal yang menjadi pemicu semangat justru malah dipendam dalam-dalam dan tidak munculkan ke permukaan. Seorang anak penjual rokok kaki lima di Bekasi misalnya, menjadi juara catur dunia tahun 2007 di Yunani, beberapa siswa terbaik kita juga menjadi juara olimpiade fisika, olah raga kita juga lebih hebat dengan hadirnya beberapa atlet muda berbakat yang menjuarai beberaapa cabang olahraga baik di tingkat Asia maupun Dunia. Seharunya semua itu menjadi insfirasi dan motivasi untuk bisa maju lebih baik. Namun, lagi-lagi ini hanya menjadi penghias dari kehidupan bangsa kita saja. Prestasi, bukan milik kita sendiri. Prestasi itu berguna ketika kita mampu mengisnpirasi orang lain untuk bergerak bersama-sama kita. Membuat orang lain maju, itu adalah prestasi.
Kebangkitanl, Sejarah dan Era Baru Kebangkitan Nasional era kini adalah bukan dengan berperang atau mengangkat bambu runcing, tetapi bangkit bersama-sama untuk mengisi kemerdekaan dengan berlandaskan pada kesadaran sejarah. Kita harus ingat pada akar kita. Atau kita harus ingat pada sumbernya! Dulu kita bersatu untuk merdeka, itulah maknanya! Untuk apa kita sekarang? Karena itu lah, sejarah sebagai sarana utama dalam menumbuhkan jati diri dan identitas bangsa menjadi penting artinya. Kesadaran Sejarah dapat diperoleh (salah satunya secara dominan) adalah melalui pendidikan sejarah di sekolah. Namun, ternyata mata pelajaran sejarah tidak jadi syarat kelulusan sekolah mengenah atas (SMA) dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Artinya mata pelajaran sejarah tidak di–UAN–kan. Sebelumnya sejarah dikurangi jam pelajarannya, disatukan dengan mata pelajaran lain menjadi PKN-S (Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah). Apakah tahun depan akan dihilangkan dari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah? Atau bahkan akan sama sekali dihapuskan dari kehidupan kita? Sangat berbeda dengan di Amerika. Menjadi Senator (anggota dewan) dan gubernur negara bagian ada ujian tertulis ttg sejarah Amerika. Dalam memandang kasus ini, banyak sekali interpretasi. Sejarah tidak penting lah, atau bisa jadi tidak dibutuhkan lagi. Menjadi pelajaran formalitas saja dan tidak jauh beda sebagai mata pelajaran pelengkap. Pelajaran hafalan yang membosankan dan tidak gaul. Yang paling menakutkan adalah "masuk jurusan sejarah berarti bunuh diri" karena katanya masa depannya suram. Jas Merah sering diplesetkan menjadi "jangan sekali-kali masuk sejarah." Sedih. Ironis! Mungkin karena trend dalam mengambil kuliah dan pekerjaan saat ini adalah IT/ Informatika/komunikasi yang menduduki nomor wahid incaran anak muda, kedua ekonomi, dll. Sejarah sama sekali tidak memiliki tempat di hati anak muda, apalagi dalam hal lapangan pekerjaan tidak ada perusahaan yang menempatakan lulusan sejarah diperusahaannya. Bagi yang kuliah di pendidikan sejarah dia harus bangga dengan menjadi "pahlawan tanpa tanda jasa," atau lebih memilih "murtad" dari bidangnya dengan bekerja sebagai wartawan, karyawan swasta, politikus, selebritis, dan musisi. Itupun hanya segelintir orang yang berhasil. Karena tidak banyak perusahaan yang "rela" menerimanya. Bagi yang kuliah di sejarah murni, juga demikian. Ada pepatah: "tidak ada sejarawan yang jadi konglomerat!" :"(
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya! Prioritas pembangunan lebih banyak ke arah fisik. Hancurkan gedung bersejarah, kemudian bangun mall, bangun gedung bertingkat untuk apartemen, rumah susun, bangun jalan raya, pengelolaan sampah, penanganan bencana banjir, dll., yang paling besar adalah bayar hutang luar negeri. Kita sibuk membangun badannya, tapi kita melupakan pembangunan jiwa-nya. Maka kita mendapatkan mayoritas anak muda yang rapuh, mudah terombang ambing dan cenderung berjalan searah dalam memandang kehidupan. Akibatnya mudah dimanfaatkan oleh siapapun yang memiliki kepentingan, diadu domba dan diperdaya untuk kepentingan orang/kelompok/bangsa/negara tertentu. [caption id="attachment_109143" align="alignleft" width="300" caption="Belajar silat bayar $70/hari atau $150/2 hari. Pesertanya bukan hanya dari Dallas, tapi dari kota dan state lain juga ada. Dok. Hendra KHI."][/caption] Kita semestinya introspeksi, karena untuk kuliah S3 Sastra Indonesia saja kita hanya bisa mengambilnya di Belanda. Mungkin juga nanti, ketika kita akan belajar gamelan/ karawitan/ agklung/ wayang/ bahasa daerah/ arsitektur rumah tradisonal, dll. kita harus menempuhnya ke Eropa dan Amerika. Karena di Cornell University, telah berdiri jurusan karawitan dan gamelan. Di Dallas, Texas, telah berdiri Perguruan Silat Jawa Barat. Karena di Canberra, diklaim sebagai pusata budaya/bahasa Indonesia terlengkap di Dunia. Karena lebih banyak anak-anak muda/ orang tua di Eropa yang belajar seni Sunda dan Jawa. Bahkan, banyak diantara mereka yang menguasai tarian daerah, bahasa daerah dan konservasi tradisi serta kearifan lokal kita. Tetapi sungguh ironis karena tidak banyak kaum muda Indonesia yang tertarik mempelajarinya. Mereka lebih suka Play Station, IT dan budaya modern lainnya. Salah satu contoh kongkrit adalah berdasarkan laporan Balitbang Depbudpar, dari 750 bahasa daerah yang kita punya, sisanya tinggal 300-an bahasa. Hal ini mungkin saja terjadi karena banyak kaum muda kita yang lebih memilih bahasa Inggris, Belanda, Jepang, dll. Mereka lupa asalnya mereka. Mereka lupakan tradisinya. Mereka lebih memilih bahasa Alay sebagai bahasa baru mereka... Hancur lah Indonesia!
Thinking Out of the Box Berdasarkan permasalahan di atas, seharunya kita putar otak, cari alternatif solusi. Berfikir di luar kebiasaan,
thinking out of the box. Permasalahan-permasalahan sepertinya membuat kita ciut nyali. Seharusnya jadikan saja itu hanya sebagai fakta  dan tantangan untuk bangkit. Bukan sebagai "excuse." Pertama yang paling penting adalah bahwa harus ada Reinterpretasi Konteks terhadap kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita. Bahwa kebangkitan nasional era kini berbeda dengan era dimana Budi Oetomo pernah berdiri. Kalau dulu diimplementasikan dengan bersatu memikirkan dan mati-matian berjuang mengangkat senjata dan bambu runcing, kalau kini seharunsya diisi dengan pembangunan jiwa dan berjuang melawan kebodohan. Budaya luar/ modernisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi, dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, bahasa asing, kita juga harus mampu menguasainya. Agar kita bisa bersaing di kalangan internasional. Meskipun jujur saja, modernisasi membuat kita lupa diri, membuat kita pamrih, dan memandang materi adalah segala-galanyanya di Dunia ini. Kita tidak memiliki rasa IKHLAS terhadap diri kita dan orang lain. (Ikhlas diibaratkan -maaf- seperti kita buang air). Akibatnya, kita cenderung berjalan searah, yaitu dengan melupakan tradisi dan kearifan lokal kita. Kita selalu mngedepankan/ mengagungkan masa kini, dan melupakan/ menyepelekan masa lalu. Kita lebih suka mendalami era globalisasi dengan segala dampaknya ketimbang mempelajari dan memahami kondisi lokal kita yang padahal jauh lebih bermanfaat dalam mengenal keberagaman dari bangsa ini sebagai potensi pembangunan di era go global ini. Kita lebih suka menjual kekayaan kita daripada memanfaatkannya. Itulah yang kita sebut sebagai tidak adanya kemapuan Integrasi Kontekstual. Yaitu, tidak adanya pemahaman, penghargaan dan pengertian yang menyeluruh terhadap masa lalu dan masa kini, terhdapa tradisi dan modern, terhadap lokal dan global. Kita harus bisa teknologi modern, tetapi juga harus mampu bermain gamelan dan membuat rumah tradsional kita. Kita juga harus pintar berbahasa asing agar kita tidak ketinggalan dan dibodohi orang, tapi kita juga harus bisa bahasa daerah dan tradisi lokal kita. Kita maniak R&B, tanggo dance, night-club tapi kita juga bisa, sayang dan peduli terhadap tarian tradisional kita. Kita harus menciptakan kreasi yang mendunia tetapi jangan lupakan karakter dan jati diri Indonesia! 103 tahun Kebangkitan Nasional kita maknai sebagai ajang introspeksi dan evaluasi diri. Siapa kita, dan siapakah Indonesia? Untuk itu saatnya kita proyeksikan 100 tahun ke depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita bersama-sama, antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh kompeonen bangsa. Kita harus ikhlas demi Merah–Putih, Indonesia Jaya! MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA!
KEMBALI KE ARTIKEL