Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Keliru Fakta di November 1946

25 April 2011   23:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:24 295 0



Belum satu purnama Rosihan Anwar wafat. Ia memang wartawan hebat, sejati dan tulen, bukan wartawan jadi jadi-an yang hanya mengejar amplop dengan memeras dan menakut nakuti.

Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai wartawan lima jaman, sejak Jepang menerjang nusantara hingga akhir hayatnya di masa presiden SBY. Walau ia tak punya surat kabar lagi yang dikelolanya pasca Pedoman di tahun 1974, ia tak pernah berhenti menulis sampai wafatnya pada 14 April lalu.

Terbiasa menulis dengan mesin ketik karena ada iramanya, walau akhir akhir ini mencoba memakai komputer atas desakan anak anaknya.

Rosihan Anwar-lahir pada 10 Mei 1922 di Kubang Nan Dua Sumatera Barat-menjadi jurnalis bukan disengaja. Mulanya ia hendak mengikuti pendidikan jaksa kilat yang dilaksanakan oleh pemerintahan militer Jepang selama enam bulan. Jaman perang segalanya serba cepat serba kilat.

Takdir tak dapat ditolak, ia bertemu dengan Dr. Abu Hanifah yang kala itu bekerja di CBZ (kini RSCM) dan mengabarkan bahwa koran Asia Raja sedang membuka lowongan wartawan.

Ia mendaftar dengan segera, mungkin karena butuh pekerjaan, yang saat itu secara umum kehidupan memang serba sulit. Tawaran itu tak ditampiknya. Jadilah ia bermarkas di Asia Raja sebagai jurnalis hingga Jepang takluk pada sekutu.

Setelah proklamasi ia segera bergabung dengan B.M. Diah mendirikan surat kabar Merdeka di Jakarta sebagai corong koran republik yang baru seumur jagung. Ia jadi redaktur dan mengalami masa masa penting di masa Indonesia masih merangkak.

Beberapa pengalamannya ia tuturkan dalam tulisan tulisan yang berserakan di media massa. Tak heran jika Rosihan kerap kali disebut sebagai “Catatan Kaki Sejarah Indonesia”. Sebagian tulisan tulisannya itu kemudian terkumpul dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesia yang terdiri dari empat buku. Buku ke satu hingga buku ke empat.

Menarik. Kesan yang saya peroleh ketika membaca keempat buku ini. Tuturannya ringan dengan bahasa yang lincah namun tak mengurangi substansi makna tulisan. Meminjam tagline TEMPO, tulisan Rosihan “enak dibaca dan perlu”.

Sejarah tak lagi kering jika Rosihan Anwar yang menulis. Banyak cerita menarik yang baru saya ketahui setelah membaca empat buku ini. Tak tercantumkan dalam sejarah versi negara.

Empat buku ini tak saya beli sekaligus. Dicicil. Pertama, hanya beli buku ke dua dan buku ke tiga. Saya tak bisa menjelaskan kenapa yang dibeli pertama jilid ke dua dan ke tiga. Alasan praktisnya tentu dana yang tak memenuhi saku, mesti berbagi dengan kebutuhan lain.

Lalu, kalau tak salah tiga hari yang silam saya membeli buku pertama dan buku keempat di salah satu toko buku terkemuka di bilangan Gatot Subroto Bandung.

Tadinya mau beli Biografi Pak Sjaf yang ditulis oleh Ajip Rosidi berjudul Lebih Takut Kepada Allah. Tetapi tak jadi beli karena keburu melihat bukunya Rosihan yang menyembul di deretan buku buku sejarah. Seratus ribu lebih sedikit saya relakan untuk membawa pulang buku ke satu dan buku ke empat.

Sebagai pengantar tidur saya baca buku buku itu dengan tak terlalu serius. Ada beberapa kesalahan cetak, misalnya pada buku ke empat tertulis bahwa Soedjatmoko-ipar Sutan Sjahrir- meninggal tahun 1969 mestinya 1989 di Yogyakarta. Di buku pertama halaman 95 tertulis R. A Soetan Mansoer mestinya A. R. Soetan Mansoer. Kesalahan kecil memang namun agak mengganggu.

Di buku pertama halaman 232 cetakan kelima Desember 2010 dalam Bab Jawa Timur: Model Serah Senjata Jepang, terdapat foto dengan tulisan dibawahnya “Panglima Soedirman bersama Masyarakat Jakarta menjalankan Sembahyang Idul Fitri di Lapangan Ikada (November 1946)”. Sumber foto itu adalah dokumentasi dari IPPHOS, biro foto yang didirikan oleh dua bersaudara yakni Frans Mendur dan Alex Mendur.

Sepintas mungkin tak ada masalah dengan keterangan tulisan di bawah foto tersebut. Namun, jika teliti lebih lanjut maka terdapat kesalahan fakta. Saya berpendapat dan meyakini dengan pasti bahwa peristiwa itu bukan sembahyang Idul Fitri melainkan sembahyang Idul Adha yang dilakukan pada November 1946. Mungkin salah cetak atau apa saya tak terlalu tahu. Dari mana saya bisa menunjukkan bahwa keterangan dalam foto itu salah?

Pertama, silakan cek surat kabar masa itu. Salah satunya terdapat dalam laman www.niod.x-cago.com. Kedua, dengan cara perhitungan kalender.

Umum diketahui bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 bertepatan dengan tanggal 9 Ramadhan (tahun hijriahnya saya lupa). Dalam kalender masehi, jumlah hari dalam Bulan Agustus adalah 31 hari. Dengan demikian jika dihitung maka sampai akhir Agustus 1945 maka jumlah hari berpuasa sudah mencapai 23 hari, dan jika hari berpuasa pada tahun hijriah tersebut adalah 30 hari maka Idul Fitri jatuh kira kira tanggal 7 September 1945, dan apabila 29 hari maka 1 Syawal bertepatan dengan 6 September 1945.

Karena Syawal dengan Dzulhijjah terselang Bulan Dzulqaidah maka diperkirakan Idul Adha jatuh pada pertengahan November 1945. Melihat perhitungan seperti ini maka dipastikan bahwa shalat yang dilakukan berjamaah di lapangan Ikada tersebut yang diantaranya dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman pada November 1946 tersebut  bukan Idul Fitri melainkan Idul Adha. Mungkin salah ketik dari penerbit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun