Titi Kamal di Agustus tahun 2006 pernah menjadi pemain utama dalam Film Mendadak Dangdut besutan Rudi Sudjarwo. Ia berperan sebagai Petris, seorang artis rock alternatif yang sedang naik daun. Di manajeri kakaknya Yulia yang diperankan Kinaryosih, ia mulai menapaki jalur artis dan melakukan rekaman. Namun sayang, di tengah perjalanan karirnya itu Petris sempat tersandung kasus narkoba akibat ganja yang dibawa dalam mobilnya oleh kekasih Yulia diperankan oleh Vincent.
Sempat dibawa oleh polisi, beruntung dapat lolos dari polisi dengan berpura pura ingin BAK dan kaburlah Petris beserta Yulia dari kamar kecil sebuah supermarket hingga akhirnya tersesat di sebuah kampung yang sedang menggelar pertunjukan dangdut. Polisi yang terus mengejar tak patah semangat sampai akhirnya tiba di kampung yang sama dengan yang disinggahi Petris dan Yulia.
Untuk mengelabui polisi, dengan terpaksalah Petris menjadi artis dangdut binaan Rizal, diperankan Dwi Sasono. Dan Rizal segera mempermak Petris agar terlihat seperti artis dangdut beneran. Namanya pun diganti menjadi: Iis Maduma.
Iis Maduma menjadi nama komersil dangdut Petris, dan sukses. Lewat film inilah istilah Jablay (Jarang Dibelai) dilansir menjadi kosakata yang dikenal hingga kini. Jablai menjadi istilah dari seorang perempuan yang suaminya tak pulang pulang mirip istrinya Bang Toyib atau karena hal lain. Petris yang mendadak dangdut tak nyaman dengan suasana baru, didorong menyelamatkan diri jadilah ia menerima situasi itu.
Saya tak hendak membahasnya panjang lebar hanya sekedar intro menuju fenomena yang kerap kali terjadi di Kompasiana. Seringkali terjadi atau mungkin hanya sewaktu waktu terjadi.
Entah ada kaitannya dengan cerita di atas atau tidak, tak jadi masalah,bolehlah sedikit bergaya.
Fenomena yang dimaksud oleh saya adalah fenomena mendadak kompasianer. Yaitu sebuah keadaan ketika kanal kompasiana dibanjiri oleh registrasi kompasianer kompasianer baru secara mendadak dan waktunya hampir bersamaan yang tak bisa membendung keinginannya hanya untuk berkomentar terhadap sebuah postingan yang dinilainya telah mengancam nama baik sebuah korps, untuk tidak mengatakan bahwa mereka gatal untuk tak berkomentar.
Jadilah mereka mendadak kompasianer yang menyerbu kompasiana untuk memposting komen terhadap artikel yang menurutnya bukan begitu dan tak seperti itu. Penulis posting bahkan sampai kewalahan meladeni komen komen yang masuk karena beberapa diantaranya mulai agresif dan cenderung invasi.
Hal ini beberapa kali saya lihat tak sengaja beberapa waktu yang lalu dan kemarin kemarin. Dulu, mendadak kompasianer pernah mengjangkiti para alumni sebuah sekolah milik negara yang tak rela digeneralisasi perilakunya sama dengan seseorang yang seringkali mondar mandir ke kantor polisi. Sebuah postingan yang menghantam si pelaku segera dijawab komen komen yang kontra. Hit tulisan tersebut pun menjadi ribuan dan bahkan menjadi terpopuler bukan lagi dalam kurun harian melainkan mingguan. Beberapa hari lalu, sebuah postingan bernada curhat dan kekecewaan di sebuah pelayanan publik segera dibalas dengan berjubelnya kompasianer kompasianer baru. Kehormatan korps adalah segalanya.
Sebuah korps adalah sebuah kebanggaan yang tak bisa ditawar. Rasa bangga pasti menyelimuti bagi mereka yang pernah mengalami keadaan yang sama. Jika ada yang mengguncang guncangkan eksistensinya maka siap siap saja menghadapi hantaman komentar komentar. Mungkin mengerikan mungkin juga tidak.
Tak jadi soal dan tak ada larangan menjadi seorang kompasianer. Ini adalah rumah sehat yang boleh dikunjungi siapa saja. Ada baiknya jika setelah meninggalkan jejak berupa komentar komentar tak lantas sekali komentar sudah itu mati melainkan aktif kembali mengisi lapak lapak yang sudah didaftar dengan postingan postingan yang tentusaja sehat sekaligus bermanfaat. Salam mendadak kompasianer.