Dulu sepi peminat, kini banyak diburu, itulah profesi guru. Dulu hanya digelari pahlawan tanpa tanda jasa, kini diganjar sertifikat ajaib lewat program sertifikasi guru. Karena dengannya, serta merta nikmat dunia seakan menghampiri. Benarkah ini cara tepat mengangkat kemuliaan profesi guru? Atau, ini cara sempurna menghancurkan karakter guru?
Masalah guru sebenarnya menarik dibicarakan. Dalam banyak pandangan, masalah guru selalu berujung menjadi persoalan kesejahteraan. Sepertinya, bila sudah bicara kesejahteraan, masalah guru lantas terselesaikan.
Barangkali ada yang terlupa, dalam jabatan guru yang profesional itu ada masalah yang jauh lebih penting, yakni pembentukan karakter seorang pendidik, yang pada gilirannya justru akan berdampak pada kesejahteraan mereka sendiri.
Konsep “kesejahteraan” seyogianya tidak diartikan sesempit “uang”.
Keliru jika kita memandang profesi guru sebagai ladang penghasil uang. Kekeliruan cara berpikir seperti ini harus diperbaiki. Semua guru pasti butuh uang, tetapi uang bukan segalanya dalam hidup, itulah titah orang bijak. Memikirkan cara untuk menjadi lebih profesional jauh lebih penting daripada meminta belas kasihan dari pemerintah untuk dinaikkan pangkat dan ditambah kesejahteraannya.
Kesejahteraan adalah buah dari kerja keras guru yang pandai bersyukur. Belajar tiada henti untuk berpikir & berperilaku profesional adalah wujud rasa syukurnya. Sosok guru berciri pembelajar sejati, pekerja keras, jujur, disiplin, rela berkorban, itulah karakter sesungguhnya yang mesti dimiliki seorang guru. Karena karakter, sesungguhnya kesejahteraan hidup akan akan mudah diraih.
Guru 3K
Eri Sudewo (2010) menyebut 3K, kunci penentu sukses hidup seseorang. Kapasitas, kapabilitas, dan karakter. Kapasitas itu daya tampung. Karena anugerah, tiap orang berbeda kapasitasnya. Kemampuan memanfaatkan kapasitas, itulah kapabilitas. Karakter adalah sejumlah sifat baik yang menjadi perilaku sehari-hari.
Jika sejak kecil punya kecerdasan luar biasa, pandai mengajar, itu salah satu tanda seseorang punya kapasitas jadi guru. Alangkah hebatnya jika kapasitas itu dikembangkan dengan melakukan berbagai cara, misal, kuliah di universitas keguruan. Lantas, hidupnya disem purnakan dengan sifat baik yang setia ditunjukkan dalam perilaku kesehariannya.
Semakin hebat karir profesionalnya, semakin ikhlas mengajarnya. Jika gaji tak mampu cukupi hidupnya, tekad pengabdiannya kian teruji. Jika mulut sudah kadung berjanji siap mengabdi di seluruh wilayah nusantara, pantang untuk bernegosiasi bisa mengajar di tempat yang dikehendaki. Itulah Guru berlisensi 3K, sosok yang mampu membantu bangsa ini keluar dari keterpurukan.
Apalagi jika kita cermati kenyataan ini. Baru 36 persen guru desa sudah berkualifikasi S1 ke atas. Sedangkan 56 persen guru kota sudah berkualifikasi S1 ke atas. Semua ini terjadi karena kesenjangan mutu pendidikan antara desa dan kota masih nyata terlihat di depan mata.
Guru di kota berlimpah fasilitas dan akses pengembangan diri. Mau atau tidak, tinggal pilih dua hal itu saja. Sederhana bukan? Namun, bagi guru di daerah, banyak sekali yang harus dipertimbangkan. Pergi ke kota untuk sekadar ikut training guru, nasib siswa jadi taruhan. Bagi guru di desa, mimpi melanjutkan studi S1, misalnya, bagai pungguk merindukan bulan. Akses transportasi relatif sulit, jelas butuh biaya tak sedikit. Padahal, untuk makan saja, sudah diirit sedemikian rupa. Akhirnya, guru di desa tersudut dalam 2 pilihan, mengejar perkara penting atau lebih penting? Gelar & akses pengembangan diri, sesuatu yang penting. Tapi, memilih tak absen untuk mendidik siswa di kelas, jelas perkara yang jauh lebih penting. Prioritas mana yang harus dipilih? Guru pasti tak bisa jawab hal ini sendirian.
Karena berlimpah fasilitas, wajar jika kapabilitas guru di kota lebih hebat dari guru di desa. Mudah sekali kita temui guru bergelar S1, S2, bahkan S3 mengajar aktif di sekolah-sekolah di daerah perkotaan. Di sekolah pedesaan, mendapati sekolah dengan sejumlah gurunya bergelar S1 sudah menjadi hal yang luar biasa. Namun kita perlu ingat, guru yang dibutuhkan bangsa ini adalah guru yang tak cukup punya kapasitas dan kapabilitas saja, namun memiliki karakter. Itu tak boleh ditawar-tawar.
Setidaknya, hasil studi Lembaga Penelitian SMERU (2009) tentang dampak implementasi Program Bantuan Kesejahteraan (Bankes) terhadap tingkat absensi guru di daerah terpencil bisa dijadikan acuan. Berdasarkan hasil studinya, (1) di dua kabupaten sampel (Kolaka dan Lombok Tengah), tingkat absensi guru penerima bankes jauh lebih tinggi daripada guru non-penerima bankes, (2) tingkat absensi guru di sekolah yang kepala sekolahnya absen lebih tinggi dibanding sekolah yang kepala sekolahnya hadir. Nikmat apalagi yang sudah guru dan kepala sekolah dustakan? Uang sudah diberi, tanggung jawab tetap saja diabaikan.
Guru tanpa karakter, walau kapasitas dan kapabilitasnya hebat, bisa jadi hidupnya celaka dan mencelakakan. Dulu tak mau jadi guru. Tapi karena ada kemungkinan jadi lebih kaya, kini niatnya berubah ingin jadi guru. Jika mengajar di kota, siap melakoni profesi guru. Namun ketika ditugaskan di desa, jadi guru setengah hati terpaksa dijalani. Tegasnya, pilihan hidup jadi guru selalu didasarkan pada pertimbangan untung-rugi, gajinya besar-kecil, tinggal di kota-desa, dan ukuran dunia lainnya. Contoh yang baik untuk tidak dicontoh oleh siswa-siswinya.
Bagi guru berkarakter, uang dan seabrek kenikmatan dunia lainnya adalah fasilitas hidup, bukan tujuan hidup. Dia cermati kapasitas dirinya, lalu belajar terus untuk meningkatkan kapabilitas diri. Perilakunya selalu memiliki landasan yang benar. Pantang baginya mengejar dunia lewat cara culas. Dia tak silau pada kemegahan dunia, sederet gelar terhormat, struk gaji yang mencengangkan, dan kendaraan hebat yang ditungganginya. Karena semua itu takkan dibawa mati. Baginya, mewariskan ilmu bermanfaat dan menjadikan siswanya jadi anak-anak yang saleh, tujuan utama yang hendak dituju.
Guru berkarakter, hidupnya selamat dan menyelamatkan orang-orang yang dididiknya. Sesungguhnya, hidupnya adalah cerminan keluasan ilmu, kekokohan jiwa pengabdian, dan teladan sempurna untuk diikuti siswanya.(*)