Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Berceceran

17 Mei 2010   09:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09 51 0

Berceceran

berceceran di sana sini,

di bawah dedaunan,

di lantai tanah perawan,

di kolong gerobak tua penyaji malam

: perca hati yang sulit kembali.

Aku, menatap tanah ini kembali

bergairah dan perawan.

Namun, begitu dekat dengan mati."

Jogja, 2010

Engkau Dimana

Pernah kujumpai perasaan ini

Dimana engkau jauh, jauh

Aku menjadi seorang diri saja

Tak tahu kemana membuang sauh

Satu persatu lunglai

Lumer di atas aspal jalan

Satu persatu membangkai

Minta segera diselamatkan

Tujuh puluh perisai tak tertahan

Sembilan puluh tiga tombak dipatahkan

Bunyi gemerincing senjata masih terdengar

Tapi tak sua sedikit pun jiwa berlaga

Pernah kujumpai dirimu

Membesuk sunyi sepiku

Atau cuma sekedar mengantar hati yang terluka

Namun itu yang kurindu

Yang membuat aku merasa hangat

Dimanakah engkau kini?

Kudus, 2009-2010

Rindu

Menelusup dari sela dedaunan trembesi

Violinmu mengapung bersama pelangi

Di bawah, berjajar jajar

Tangan tangan melambai ingin berkabar

Sesaat hilang, kenangan di dalam pendapa

Entah kemana perbincangan kita

kau berpesan, ”hari sudah terlalu tua

untuk apa kita bertemu, mengurai luka?”

masih terdengar violinmu dari sela trembesi

lagu cinta yang tersusun dari nada nada sedih

”ah, kenangan selalu begitu,” jawabku

Lihatlah aku di sini, terbakar matahari

Jogja, 2010.

Teronggok di Dalam Gudang

Rasanya telah cukup lama teronggok di dalam gudang

Debu melekat menebal dan luka luka dipenuhi karat

Rasanya terlalu berat untuk tidak berkata aku telah usang

Wajah wajah telah menjadi asing di setiap perbincangan

Ada rindu seperti kau menjamahku dahulu

Dan mendengar jerit tawa yang jujur di halaman

Tapi ada cemas jika kau menyentuhku sekarang

Aku tak lagi menjadi sesuatu yang kau inginkan

Teronggok sudah di dalam gudang

Tergeletak seperti barang rongsokan

Hanya saja, entah kenapa engkau selalu hidup di sini

Bersama keliaran jiwaku yang kesepian

Jujur saja aku selalu gagal menulis surat untukmu

Karena terlalu banyak kata kata yang hilang makna

Seperti bunga di etalase

Seperti peristiwa di setiap sinetron Indonesia

Seperti lima ratus dua puluh empat puisiku di koran koran

Menjadi sebuah kemunafikan tak berujung-pangkal

Aku masih mencoba mempercayaimu

Sebagai kidung yang berlagu setelah adzan

Sebagai kleneng lonceng sebelum altar bermadah

Aku masih ingin mendengar kau membuka pintuku

Meski diam diam, sebagai pengharapanku akan udara segar di jiwaku

Datang, datanglah engkau kekasihku

Ke dalam sebuah gudang

Dimana teronggok aku di sana

Sebagai rongsokan yang tak lagi berdaya

Jika engkau sebuah cinta

Aku percaya engkau mau memahami dosa dosa.

Jamah, jamahlah aku kekasihku

Ke dalam jiwaku yang penuh luka

Jika engkau sebuah cinta

Engkau pasti mau menerimaku apa adanya.

Kudus, Sept 09

Rumah Pelangi

rumah yang kubangun

dari cinta cinta yang tumbuh

yang kuberi ruang

dan kurawat di setiap saat

memang bukan dari kaca

atau marmer istimewa

kadang solfatara

mengapung di atas asbak

dan menyela perbincangan

temboknya berlumut

lumut yang bisa bicara

coretan dinding

yang berbisik dalam gelap

lalu pot pot yang seakan diam

menjaring informasi gerimis

gelas dan dentingnya

melempar fenomena

di tengah kepongahan

lalu aku hanya membiarkan

semuanya menjulur ke langit

menjalar ke tanah tanah basah

atau menjala semua ikan ikan

yang terbawa angin senja

di situlah kami tumbuh

hingga tak mengenal mati.

Kudus, Januari 2008.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun