Seperti ketika lengan kita dicubit, dan kita merasa sakit. Sakit yang dirasakan tidak lain merupakan respons singularitas tersebut. Perlakuan oleh apapun yang bersifat materi dan diterima fisik, menghasilkan respons pada tubuh kita. Jika itu belaian sayang, akan memberi kenyamanan. Jika itu tamparan tangan, akan memberikan kesakitan. Tubuh ini merespons dengan amat cermat.
Sementara jiwa, menurutku, sesungguhnya tidak mengenal sakit. Jiwa atau sukma atau roh, ia hidup. Dan abadi adanya.
Maka ketika tadi malam kita bermimpi dikejar-kejar orang jahat, bahkan sampai tubuh kita dalam mimpi itu tergores mata pedangnya, misalnya, kita tidak merasakan sakit. Baik pada saat bermimpi maupun saat terbangun setelahnya. Barangkali yang ada dan kita rasakan adalah rasa takut.
Karena pada hakekatnya, jiwa atau sukma itu hidup dan abadi adanya. Apa yang dialami olehnya bukanlah penderitaan fisik. Jika toh ada penderitaan, ia bersifat psikis sifatnya. Seperti: takut, berani, kecewa, puas, sedih, gembira dan semacamnya.
Demikianlah Salim Kancil membebaskan dirinya di antara para penyiksa dan pembunuhnya. Sakit yang dirasakan fisik telah dijelmakan menjadi keberanian untuk mati secara fisik (sekaligus) membebaskan jiwa pada azalinya. Demikian pula Socrates yang kemudian memutuskan menenggak racun, orangorang yang mengorbankan nyawanya demi bangsa demi orang yang lain, atau para martir lainnya dan orang-orang yang mau mengorbankan dirinya bagi kebaikan dan keselamatan orang lain.
Ketika menyadari bahwa ada dua hal berbeda antara tubuh dan jiwa, jiwa memiliki kekuatan untuk membebaskan keduanya ke dalam perspektif hidup yang sejati itu. Kita perlu mengasah kepekaan betapa jiwa mampu mengatasi keterbatasan fisik kita.
Dari situlah kita berangkat menuju sebuah pembebasan! Mengapa kita tidak memulai dengan melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat fisik belaka.
salam,
asajatmiko