Bersyukurlah suatu bangsa yang tidak punya sejarah. Begitulah adigum yang terdengar di awal abad 19. Ketika itu pemerintahan Eropa berganti-ganti. Sama halnya dengan periodisasi umum penulisan sejarah. Mereka terbagi sejarahnya berdasar rezim yang sedang berkuasa. Dari masa kejayaan Yunani, sebagai akar peradaban Barat, terhapusnya masa jaya dalam
The Dark Ages, terbit kejayaan kembali dalam
Renaissance (
reborn menurut perkuliahan Prof. Swarozky, 1 September 2016 di Universitas Gadjah Mada), hingga Eropa awal modernisasi. Dalam post modernis, semua-semua serba dikritisasi, dibredeli, dan dipertanyakan segala kebenarannya. Hal ini tidak bertentangan dengan epistemologis filsafat, the truth harus selalu dicari. Benar rupanya, bahkan para sarjana mulai mengkritisi adanya nation state. Apa yang diunggulkan Perancis dalam
La france?
La state? mulai dipertanyakan banyak negara. James Scoot “Seeing Like a State (1998)” dalam bukunya setebal 461 halaman, menerangkan betapa konsep negara sudah gagal total. Perspektif Scoot melihat desain kota modern sebagai percobaan dan kritikan secara bersamaan. Begitu pula cerita-serita sejarah yang berkembang, ditulis berdasarkan kerangka negara. Padahal, Henk (2004) menuliskan pendapat Scoot bahwa lebih penting mengkaji sejarah lewat
indigenous people terkoneksi dengan
local genius dan sejarah lokal. Apapun itu, lebih tepat menuliskannnya dalam kerangka sebenar-benarnya seperti sejarah masyarakat di kehidupan sehari-hari (daily life history). Alih-alih menuliskan sejarah, sejarawan-sejarawan ternama pada masanya seperti Braudel (1981) mengkritisi betapa kisah-kisah masa lalu di negaranya hanyalah taktik pemerintah untuk berkuasa, itu kosong. Adapun tulisan-tulisannya seperti Jilid I:
The Strucutre of Everyday Life (1981); Jilid II:
The Wheels of Commerce (1982); Jilid III:
The Perspective of the World (1984). Ketiga buku tersebut ditambah buku-buku karangan lainnya bukan hanya menggambarkan tentang kehidupan Raja Spanyol Philip II atau kawasan Laut Tengah itu sendiri, atau tentang kejatuhan pemerintahan, melainkan pada upayanya untuk menganalisis perubahan sosial dan irama waktu dalam sejarah. Ini memberikan cukup kerangka pemikiran bagi sejarawan lain, Denny’s Lombard yang mengkaji silang kebudayaan, dan ilmuwan awal, Annales menjadi inspirasi bagi penulisan sejarah struktural. Apapun itu, konstruksi penulisan sejarah berkonstruk pada penjajah, yang pada periode selanjutnya dikonstruk oleh negara. bisa saja kita sebut dari Nusantara (Gadjah Mada), beralih ke Hindia Belanda (kolonial), berubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), ujungnya berganti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya pikir ini konsep yang bagus, gagasan hebat dari upaya para founding fathers ‘mempersatukan’ Indonesia perspektif territorial. Sayangnya, hanya berganti struktur formal pemerintahan dan nama, bukan kultur. Apa yang dituliskan Henk Schulte (2004) tentang Dekolonisasi Indonesia Historiografi banyak benarnya, mengingat penulisan sejarah Indonesia sampai hari ini belum menemukan bentuknya. Polanya masih sama “state narratif”. Padahal, sejarawan Perancis awal abad 19, menuliskan sejarah Perancis 1848-1945 dua Jilid (1973, 1977), dan yang lebih baru The Franch (1982). Secara blak-blakan dia menghapuskan nasionalitas (kebangsaan) dalam penulisan sejarah, baik sebagai realitas maupun sebagai unit kajian yang berguna (meaningful) dalam metodologi sejarah. Bukan hanya unsur “bangsa” yang dibuangnya dari penulisan sejarah, melainkan juga kategori-kategori lain, yang biasa dikenal dalam konvensi penulisan sejarah seperti kronologi, kausalitas, kolektivitas, termasuk kelas-kelas sosial, masyarakat dan nasionalitas.
KEMBALI KE ARTIKEL