Memahami Yogya dalam Kasus Flo
oleh: Ary Lesmana
Sudah lebih dari dua puluh empat tahun saya mencoba memahami Yogya dan Jawa dan tidak sepenuhnya berhasil.
Dari kurun waktu itu, saya juga merasa tidak percaya diri untuk menyebut sebagai orang asli Yogya, kenapa? Dalam kultur Jawa, yang disebut asli itu, jika lahir dan setidaknya besar di suatu wilayah, sementara saya tidak lahir dan besar di Yogya. Keturunan leluhur agak kurang diperhitungkan, orang tuakuĀ juga bukan berasal dari kota ini. Demikian juga lama tinggal di suatu wilayah tidak akan mengubah status seseorang dari 'pendatang' ke penduduk 'asli', meski sudah puluhan tahun, tetap aja dicap pendatang. Soal ini menjadi penting untuk disebutkan sebagai identitas, yang akan memisahkan antara: kita dan mereka, terutama dalam kasus-kasus tertentu. Dalam kasus Florence yang memaki-maki Yogya, di media sosial, identitas asli-pendatang itu kemudian muncul, untuk menegaskan bahwa yang asli Yogya, itu berbeda dengan yang pendatang.
Stereotipe usang bahwa pendatang itu kasar, jorok, pemarah, tidak peka terhadap budaya Jawa dll, sebenarnya terpatahkan dengan sendirinya, ketika orang-orang yang 'merasa Yogya, atau merasa asli, atau membela Yogya dan memahami budaya Jawa' melakukan cacian balik yang jauh lebih kasar, vulgar dan mengerikan. Ancaman kekerasan fisik bahkan dengan jelas bisa dibaca dalam setiap komen yang muncul. Tentunya apologi yang mengemuka atas serangan balik itu adalah: itu dilakukan karena ada aksi, orang luar harus memahami budaya setempat, atau mengingatkan bahwa dimana bumi dipijak, maka langit dijunjung. Baiklah, alasan bisa diterima, silahkan saja, Anda benar, mereka salah, karenanya perlu dibantai, diinjak-injak, dicemplungin ke laut, diusir, didemo dan di masukkan ke penjara! Puas?
Saya mencoba memahami dari dua sisi: sisi Flo dan sisi 'wong Yogya'.
Dari sisi 'wong Yogya' pada awalnya saya setuju dengan serangan bertubi-tubi ke Flo, karena saya marah, harga diri seperti diinjak-injak oleh pendatang (padahal saya juga pendatang dari Jawa Tengah, hehehe). Orang yang tidak tahu aturan, pantas dihukum setimpal!Rasain! Meskipun saya tidak seberani teman-teman yang memaki di media sosial, saya di dalam hati bilang : Asuik!
Reaksi ini kemudian mulai luruh ketika Flo berkali-kali minta maaf secara terbuka. Meski ada yang berpendapat maafnya tidak tulus, masih menyisakan kekesalan dalam pernyataannya, bagi saya sudah cukup. Menurut saya, tulus atau tidak, ukurannya sangat relatif, hanya Tuhan yang tahu. Kalaupun benar Flo tidak tulus, ya sudahlah, paling tidak saya yakin dia sudah banyak belajar dari kasus ini. Setelah marahku reda, badan malah jadi lemas dan kini berganti dengan rasa iba, ketika Flo harus berhadapan dengan penegak hukum, apalagi dengan kesigapan aparat kepolisian yang segera melakukan penahanan.
Temans, saya pernah bekerja untuk meliput masalah-masalah kriminal, sehingga tahu, yang namanya ruang tahanan itu sungguh mengerikan. Biasanya hanya disediakan ruang tertutup tanpa ventilasi, dengan alas seadanya, atau seringkali tanpa disediakan alas sama sekali. Dalam hati aku bertanya, pantaskah ini diterima untuknya? bukankah banyak kasus provokasi atas nama agama, penyerangan fisik yang dilakukan kelompok yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan banyak kasus lain yang lain, aparat kepolisian yang katanya sedang berbenah itu bersikap anget-anget tai ayam? Boleh dong saya curiga, Polisi bergerak cepat karena kasus ini tidak ada resiko politik, tetapi malah bisa memoles wajah yang kemarin belepotan?
Dari sisi Flo, saya hanya bisa menduga, bahwa dia tidak mengira, emosi sesaatnya ternyata sungguh berakibat panjang. Penyesalan dan permintaan maafpun bahkan tidak cukup. Terbayang sanksi akademik apa yang akan dijatuhkan UGM, ngeri juga menduga bagaimana nanti ketika harus masuk kuliah lagi ketika setiap orang di kampus akan menatapnya dengan sorot aneh, bahkan mungkin akan terlontar kata-kata sindiran untuknya? Tidak hanya itu, di jalanan, di warung, di mall, sepertinya wajahnya sudah terlalu populer dalam makna yang negatif. Motor scoopynya juga sudah terlanjur nampang dimana-mana yang bisa membuatnya was-was untuk menungganginya. Masih belum cukupkah ini? Mungkin dalam hatinya yang terdalam dan tidak terucap terbersit dendam yang tidak akan berkesudahan, kebencian yang tidak terlupakan atas orang-orang yang mem-bulyy-nya. Bisa jadi tambah yakin bahwa apa yang ditulisnya ternyata ada benarnya, orang-orang menjadi sedemikian tidak berbudaya karena tersinggung.
Menurut saya, kalaupun Flo harus menghadapi ancaman penerapan UU ITE, dia justru harus bertolak dari sini. UU ITE ini pada banyak kalangan menuai kontroversi, banyak 'pasal karet' karena bisa dikenakan kepada siapa saja yang dituduh menyebarkan kebencian. Juga termasuk orang-orang yang telah membullynya dan mengancam atau menerornya. Tentu saja, agar api tidak membesar, sebaiknya Flo tidak mencoba menuntut balik orang-orang yang jumlahnya ribuan itu. Bukan apa-apa, capek dan nambah musuh!
Sebaiknya Flo memperjuangkan judical review ke MK atas pasal-pasal dalam UU ITE ini. Flo bisa memulai praktek ilmu hukumnya (meski basis dia adalah notariat) dengan mempelajari UU ITE ini. Oya, berperkara di MK itu gratis!
Ayo Flo, akan banyak yang dukung kamu kalau kamu tegar dan mulai 'menggali kapak perang' atas Undang-undang yang mengancam kebebasan berekspresi.
Kalau kamu berhasil melalui ini semua dan memenangkan pertarungan hukum dengan elegan, pasti orang akan berubah dan berdecak kagum : Asu tenan cah iki!