[caption id="attachment_300726" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi : www.cahyawicaksono.blogspot.com"][/caption]
Nasib manusia memang seperti roda berputar, kadang di atas kadang di bawah. Tidak ada orang yang mau hidupnya susah, tapi jika Tuhan sudah berkehendak, manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Itulah nasib yang dialami keluarga pamannya almarhum bapak saya. Kebetulan paman nya bapak saya ini seorang pemborong, dulu tinggalnya di Jakarta, sebut saja namanya Pak Anto, tapi sekarang beliau sudah meninggal. Yah namanya pemborong, kalau sedang suksesĀ pasti keuntungannya banyak. Di era tahun 70-an sampai awal 90-an, merupakan masa-masa jayanya. Pan Anto ini jugalah yang sudah menyekolahkan bapak saya sampai menjadi seorang sarjana di Bogor Pak Anto memiliki tiga orang anak, seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Dulu sewaktu masih jaya, kehidupannya termasuk mewah, istilah jawanya jor-joranlah. Apalagi anak-anaknya, dimanja sekali, semua kemauannya selalu dituruti. Pokoknya anak-anaknya terbiasa dengan fasilitas yang serba ada, tanpa diberi tahu bagaimana perjuangan untuk mencari rizki, dan mengelola keuangan secara baik dan benar. Saya masih ingat Pak Anto dulu pernah mengadakan reuni keluarga selama dua hari tahun 1987, kita semua menginap di rumahnya yang lumayan besar di daerah Pancoran. Waktu itu semua keluarga dari bapak saya diundang, termasuk yang dari Pati. Saya juga ingat kita disewakan bus oleh beliau karena peserta reuni cukup banyak, kita diajak jalan-jalan ke tempat wisata di Jakarta selama seharian full. Gak kebayang berapa biaya yang dihabiskan waktu itu untuk acara ini. Tapi nasib baik tak selamanya berpihak, seiring dengan berjalannya waktu, terutama pada saat krisis moneter tahun 1997, usahanya mulai lesu, ditambah lagi fisik yang semakin menua. Lama-kelamaan beliau terlilit banyak hutang di sana-sini, termasuk hutang pada rentenir. Anak-anaknya juga tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun mereka kuliah tapi sepertinya tidak punya bekal ilmu untuk menyelesaikan masalah termasuk dalam hal finansial. Menurutku tidak punya bekal ilmu lebih parah daripada tidak memiliki bekal uang. Kehidupan mereka mulai pas-pasan bahkan agak kekurangan karena hutangnya pada rentenir semakin memperburuk keadaan. Pada akhir tahun 2003, istrinya Pak Anto dipanggil menghadap Allah SWT karena sakit jantung. Dua tahun berikutnya Pak Anto menyusul istrinya pulang ke Rahmatullah. Ia pergi selamanya dengan meninggalkan banyak hutang dan itu harus diselesaikan oleh ketiga anaknya. Pada saat itu semua anaknya sudah berkeluarga dan memiliki anak. Untuk melunasi hutang, akhirnya rumah yang mereka tempati tersebut dijual dengan harga murah kepada rentenir yang menghutangi (kebetulan Pak Haji). Padahal kalau dijual dengan harga normal bisa berkali-kali lipat tuh harganya, apalagi pasaran tanah di Jakarta kan mahal, rumahnya juga cukup besar. Hasil pembelian rumah itu dibagi tiga. Harusnya uang yang mereka dapat itu bisa dikelola sebaik-baiknya untuk modal hidup, tapi nyatanya tidak, karena mungkin bekal ilmu kurang dan kebiasaan hidup konsumtif. Mereka tidak bisa menggunakan skala prioritas dalam manajemen keuangannya. Sampai sekarang mereka masih tetap mengontrak rumah dan kadang sering pinjam sana-sini untuk keperluan hidup sehari-hari. Saya tidak tahu kabar anak Pak Anto yang pertama karena tidak pernah silaturahim. Kalau anak kedua, katanya sekarang kerja mengasuh anak tetangganya. Nah yang parah anaknya yang ketiga, mungkin dulunya salah perhitungan. Sudah sanggup beli rumah yang ukurannya kecil, tapi dijual untuk beli yang lebih besar, tapi setelah itu gak sanggup bayarnya. Dan akibatnya sekarang, rumahnya disita, dia tinggal di rumah kakaknya yang nomor dua. Ia juga tidak berani pergi kemana-mana karena takut dikejar-kejar terus oleh si penagih hutang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib mereka kelak dan masa depan anaknya. Koq bisa ya kebalik-balik gini, dulu bapaknya menyekolahkan bapak saya sampai sarjana. Sekarang anaknya malah terlibat banyak hutang, bahkan sempat pinjam ke saya tapi tidak kupinjamkan karena hutangnya gede banget. Tapi ini mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Apalagi buat para orang tua, jangan terlalu memanjakan anak. Lebih baik bekali mereka dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat ketimbang dengan harta dan fasilitas yang serba ada dan mewah. Mungkin kita bisa belajar dari kaum etnis Tionghoa dalam mendidik anak-anaknya, banyak dari mereka sukses karena mau hidup prihatin.
Seperti kata Rasul, manfaatkan masa kayamu sebelum masa miskinmu. Semoga bermanfaat... Bogor, 24 Oktober 2010
KEMBALI KE ARTIKEL