Inspektur Polisi Dua (Ipda) Sanja Arunika (Putri Marino) harus berjibaku di pedalaman hutan Kalimantan untuk menemukan pembunuh berantai di perbatasan Indonesia-Malaysia. Layaknya kabut berduri, Sanja harus masuk ke menyelidiki kasus yang masih buram dengan risiko terbunuh.
Sanja diterbangkan dari Jakarta untuk membantu polisi lokal yang menghadapi kasus pembunuhan dengan korban yang kepalanya terpenggal.
Oleh kepala polisi lokal Panca Nugraha (Lukman Sardi), Sanja didampingi oleh anak buahnya bernama Thomas (Yoga Pratama). Thomas adalah polisi asli keturunan Dayak.
Dalam proses penyelidikannya, Sanja tidak hanya menemui kesulitan karena medan TKP-nya. Namun, Sanja juga harus menghadapi mulai dari konflik antar suku, rendahnya kepercayaan terhadap polisi, mistisme warga lokal, sampai trauma masa lalunya sendiri.
Sanja sendiri dikirim ke Kalimantan untuk membuktikan dirinya masih layak menjadi detektif karena kemampuannya, bukan karena nepotisme. Penyelidikannya kian rumit karena Sanja harus menghadapi kasus korupsi, perdagangan manusia, dan konflik perbatasan.
Kisah yang tidak biasa
Itulah menjadi alur dari film Kabut Berduri atau Borderless Fog dalam versi internasional. Film yang disutradarai oleh Edwin ini memberikan sebuah pesona baru di perfilman Indonesia.
Bagaimana tidak, biasanya film thriller kriminal mengambil tema di kota besar saja. Edwin malah mengambil plot cerita di Kalimantan, tepatnya di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Tempat yang mungkin belum banyak diangkat oleh sineas lokal untuk genre ini.
Melalui film ini, Edwin seperti ingin memotret kehidupan bahkan konflik yang terjadi di masyarakat perbatasan. Sebut saja penggunaan bahasa setempat dalam dialog film lengkap dengan logatnya. Sehingga kamu akan dibawa masuk ke dalam cerita lebih dalam.
Tidak hanya itu, Edwin juga memotret lanskap pemandangan khas Kalimantan, termasuk budaya tato di masyarakat Dayak. Tidak berhenti di situ, Edwin menampilkan juga bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap mistisme masih hidup lewat karakter Ambong, hantu komunis yang hidup sebagai pemimpin Paraku.
Ambong sendiri merupakan kepercayaan yang masih hidup hingga saat ini. Namun, karakter ini sejatinya masih jadi perdebatan. Apakah benar adanya? Apakah dia baik atau jahat?
Konflik bertumpuk
Edwin seperti ingin mengisahkan banyak hal melalui film ini. Konflik sudah muncul sejak di awal soal perdebatan siapa yang harus mengurus kasus pembunuhan ini, polisi Indonesia atau Malaysia.
Konflik berlanjut soal bagaimana rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum kemudian berlanjut pada perkelahian masyarakat dengan aparat militer dan penegak hukum.
Edwin seakan memotret bagaimana frustasinya masyarakat dengan polisi yang cenderung tidak menjalankan tugasnya sehingga muncul bibit main hakim sendiri.
Selain itu, melalui film ini kamu pasti gemas karena rumitnya birokasi pemerintahan di Indonesia terutama dalam upaya mengungkap kasus ini.
Sanja pun dalam proses penyelidikannya menemui bahwa ada kasus korupsi oleh penegak hukum dan perdagangan manusia lintas negara. Ditambah lagi soal realitas "titipan" aparat negara untuk masuk ke dalam instansi penegak hukum.
Inspirasi dari penelitian
Film Kabut Berduri mengambil inspirasi dari penelitian yang dilakukan oleh antropolog Dave Lumenta di medio 2000-an. Kala itu, Dave meneliti tentang kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan.
Di tahun itu, Indonesia sedang mengalami transisi dari Orde baru ke era Reformasi. Dari kacamata Dave, negara tidak hadir sebagai penyelamat, melainkan sebagai "pendatang" di perbatasan. Di era peralihan ini, kasus pembalakan liar terus meningkat.
Dalam pemutaran film terbatasnya, Kamis (11/7), Dave mengatakan era pembalakan liar sudah berakhir. Negara sudah hadir di area perbatasan. Sehingga demi kebutuhan film, Dave mengaku harus melakukan riset kembali pada 2012. Dia mengajak Edwin dan penulis skenario Ifan Ismail.
Perspektif realitas dan budaya
Riset ulang tersebut membuat film ini bisa menampilkan visualisasi yang nyata. Mulai dari lanskap perkebunan sawit, hutan yang terdegradasi, akses jalan yang buruk, dan kehidupan masyarakatnya yang jauh dari kata cukup.
Dari film ini, kamu juga bisa tahu bahwa selain OPM di Papua, ternyata ada organisasi pemberontak komunis atau Paraku yang masih berkeliaran di dalam hutan.
Realitas nyata dan budaya yang ditampilkan oleh Edwin terlihat juga pada karakter Ambong, yang mungkin bagi kamu tidak nyata, tetapi tidak bagi masyarakat lokal.
Ambong disebut sebagai roh penunggu hutan. Versi lain menyebutkan, Ambong adalah wakil pimpinan Paraku yang berhasil kabur dari penangkapan dan hidup menjadi siluman di hutan Kalimantan.
Ambong adalah ambiguitas. Dua kepribadian yang bisa kamu artikan sendiri berdasarkan perspektif masing-masing. Ambong bagi masyarakat sekitar menjadi seolah roh yang menjaga alam, melindungi warga lokal dari ancaman jahat.
Namun, dia juga bisa menciptakan kekacauan. Ambong pun menjadi mitos. Karakter ini juga ditampilkan berdasarkan cerita masyarakat, misalnya dia melangkah di sungai, tetapi tanpa tubuh, hanya ada riak airnya saja.
Banyak adegan yang memperlihatkan kepala terpenggal juga sebenarnya diangkat dari ritus Ngayau masyarakat Dayak. Ritus ini merupakan sebuah ritual berburu kepala manusia yang digunakan untuk upacara adat. Ini adalah simbol kekuatan supranatural dan kepercayaan orang Dayak yang kini sudah punah.
Karakter kuat
Kekuatan film ini juga berhasil dimunculkan karena kehadiran beberapa pemain kawakan, antara lain Putri Marino, Yoga Pratama, Lukman Sardi, Kiki Narendra, dan Yusuf  Mahardika.
Putri Marino bahkan berani memotong rambutnya dan mengubah tampilannya menjadi "bondol" dan ikal. Hasilnya, Putri menjadi mencolok di antara laki-laki lainnya. Putri juga berhasil menampilkan kesan tegas dan berani, namun di sisi lain rapuh karena masa lalunya.
Yoga juga tampil stand out dengan karakternya kuat, tetapi cenderung lelah dengan birokrasi polisi. Yoga menjadi apatis sebelum akhirnya berani kritis melawan atasannya yang ternyata "bermain" sampingan. Yoga juga sukses menampilkan logat khas Dayak.