Rabu, 13 Mei 1998. Kami tetap bekerja disatu laboratorium kultur jaringan milik perusahaan multinasional Amerika dan Australia..
Kerusuhan demi kerusuhan yang bergejolak diseluruh negeri menuntut soeharto turun belum menyentuh lokasi kami bekerja yang berada di sebuah desa di Bogor yang masih terpencil saat itu.
Sebagai seorang supervisor yang menangani keselamatan perusahaan, saya memantau detik demi detik peristiwa lewat televisi dan radio.
Baru sehari sebelumnya kerusuhan terjadi di kampus Trisakti, ribuan mahasiswa bentrok, sayup-sayup berita mahasiswa yang ditembaki belum ada kabarnya. Informasi dan berita saat itu dijaga gawangnya oleh Departemen penerangan. Tak ada berita yang lugas dan tegas bisa dipercaya. Internet belum membudaya.
Hari itu Tim Roche, atasan saya tak bisa datang . Selain apartementnya berada di kawasan rusuh di mampang prapatan, sehingga tak bisa keluar, ia juga bagian dari expatriate yang harus kami selamatkan jika eskalasi kerusuhan berkembang lebih luas.
Beberapa hotel di Bogor telah kami pesan untuk menempatkan orang-orang kunci perusahaan sebelum dievakuasi ke negeri sebelah Singapura.
Atas perintah kantor pusat, saya menghubungi Airport pondok cabe untuk mencari moda transportasi udara yang bisa mengevakuasi personnel kunci dan memesan satu pesawat terbang. Mereka cuma bilang:
"Kami tak bisa melayani booking pesawat pak, siapa ada uang Rp 150 juta dan datang ke Airport, hari itu juga kami akan berangkatkan pesawat, first come first serve!"
Bukan hal yang kejam tetapi siapa yang bisa percaya satu perusahaan akan membayar sewa pesawat setelah menggunakannya sedang Republik ini saja belum tahu arahnya mau kemana.
Sore menjelang pulang, berita beredar di Radio Elshinta. Satu persatu mahasiswa yang gugur di Kampus Trisakti diumumkan. Pengumuman itu berlangsung dramatis dan mencekam.
"Telah gugur, empat mahasiswa Trisakti tertembak peluru tajam. Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie,"
Rekaman suara mencekam, musik gugur bunga berkumandang, teriakan demonstran dari siaran radio terdengar. Hampir semua yang mendengar itu merasa pasti sebentar lagi prahara lebih besar akan datang dan terjadi.
Malam itu dengan sebuah mobil kijang, saya menyusuri jalan pulang antara Bogor dan Pasar minggu dimana saya tinggal.
Sepanjang jalan mendadak sepi. Setiap gang dan jalan perumahan terpasang barikade, sebagian laki laki mempersenjatai diri dengan senjata tajam untuk siap membela wilayahnya dari para perusuh yang semula tak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Tiga kali mobil saya dihentikan gerombolan dijalan untuk sekedar bertanya mau kemana?
Hari ini dua puluh lima tahun yang lalu, kristal dua kubu mulai jelas terbentuk. Indonesia memasuki babak kulminasi persteruan antara rakyat dan mahasiswa berhadapan dengan Orde baru dan kroninya.
Kontraktor keamanan internasional bernama AGI ditunjuk perusahaan untuk setiap saat mengupdate keadaan dan berita kerusuhan sekecil apapun kepada kami.
Hari ini mengawali tugas tambahan saya untuk memastikan orang-orang dalam foto ini boleh atau tidak boleh datang bekerja. Termasuk bagaimana mengevakuasi mereka ketempat aman bila kerusuhan menjalar.
Lucunya sebagian dari mereka pegawai penduduk desa Tegal setiap hari bertanya:
"Pak kapan kita dievakuasi dan tidur di hotel...mumpung gratis?"
-From the desk of Aryadi Noersaid-