Kota Balikpapan menjadi satu ingatan yang menjadi jawaban bapak ketika saya coba menelisik peristiwa G-30/ S PKI yang melibatkan pasukan Cakrabirawa.
"Mosok bapak nggak ngerti sesungguhnya apa yang terjadi waktu peristiwa G-30S/PKI?" tanya saya pada bapak. Beliau cuma menggeleng dan menganggap peristiwa itu sebagai peristiwa kelam bagi ia dan anggota pasukan lainnya.
Brigade pendarat I atau Brigrat I yang dikerahkan sebagai konsekuensi dibentuknya Komando Mandala oleh KOTI yang saat itu dikomandani oleh  Laksamana Madya Udara Omar Dhani untuk mengganyang Malaysia setelah proklamasi Federasi Malaysia, secara berangsur dikirim ke perbatasan Kalimantan utara sejak Desember 1964 hingga  Maret 1965.
Perintah pemimpin revolusi Bung Karno untuk menggagalkan terbentuknya federasi Malaysia mengantarkan bapak untuk menjadi garda terdepan di pulau sebatik. Disana pasukan KKO angkatan Laut beserta pasukan PGT angkatan Udara melakukan operasi klandestein dengan tugas melatih milisi dan menghadapi serangan tentara persemakmuran inggris dan sekutunya.
"Jadi gak tahu kenapa cakrabirawa yang termasuk KKO didalamnya bisa menjadi pasukan yang membunuh para komandannya?" selidik saya.
"Mana bapak tahu, dari cerita teman-teman  sebelum peristiwa itu Cakrabirawa dari unsur KKO selesai melakukan tugas bergilirnya lalu dilanjutkan oleh pasukan Cakrabirawa dari unsur lain yang  melakukan aksi itu. Mereka tidak memanfaatkan pasukan Marinir atau KKO karena ketika itu pasukan yang paling dekat dengan Bung Karno ya KKO, mana berani pakai KKO, lagian seluruh kekuatan KKO saat itu terkonsentrasi di sepanjang perbatasan mulai dari Riau sampai Kalimantan," jawab bapak.
"Kenapa KKO dekat dengan Bung Karno, karena dekat dengan komunis?" selidik saya.
"Ngawur, karena politik bung karno adalah ekspansif jadi pasukan pendarat adalah jadi andalannya. KKO itu pasukan pendarat yang siap diterjunkan di perbatasan." Jawab bapak tegas
Sekian bulan sebelum peristiwa berdarah di Jakarta bapak dan pasukannya bertugas mendiami hutan belantara Kalimantan utara. Menunggu perintah selanjutnya dengan melakukan operasi intelijen untuk diserahkan kepada Komando Mandala Kolaga dan KOTI. Setiap hari selalu terjadi clash antara pasukan gurkha dengan Tentara Indonesia. Tentara Malaysia belum terbentuk sempurna sehingga yang dihadapi adalah pasukan khusus setara SAS yang memiliki kemampuan pertempuran hutan dan jarak dekat.
"Waktu tanggal 30 september apa yang bapak dengar soal  peristiwa Jakarta?" tanya saya.
"Nggak mendengar apapun. Semua informasi datang begitu lambat, beritanya  nggak sampai ke hutan-hutan. Di masa  itu cuma satu yang menjadi tugas bapak dan teman-teman, bertempur. Malah bapak nggak tahu kalau kakakmu lahir," jawabnya. Dua hari menjelang peristiwa gestapu kakak saya perempuan lahir ditengah kota Subah jawa tengah.
Tanggal 5 oktober 1965 ketika berlangsung ulang tahun TNI, segenap pasukan perbatasan dikumpulkan. Pasukan yang bersiaga di hutan-hutan diminta kembali ke pulau sebatik dan kota terdekat untuk mendengarkan arahan pusat. Pidato jenderal  Nasution tentang tragedi pembunuhan para jenderal akhirnya sampai ke telinga mereka dan satu persatu rantai komando ketentaraan mulai tercerai berai karena politik, TNI diperbatasan  tak tahu perintah mana yang harus dituruti. Namun rantai komando diinternal KKO sendiri tetap solid tanpa campur tangan militer pusat.
 Â
Sebagai pasukan yang bertarung di perbatasan, kondisi politik membuat mereka tak tahu harus melanjutkan rencana apa. Tentara persemakmuran memanfaatkan situasi ini dengan menggempur moral pasukan TNI lewat serangan lintas batas yang dihadapi dengan perang semi terbuka. Kedua pihak mengalami kehilangan personnel dalam beberapa pertempuran.
Menunggu berbulan-bulan tentang apa yang terjadi sesungguhnya di Pusat pemerintahan adalah suatu yang menyiksa bagi pasukan di perbatasan. Mereka tak tahu lagi siapa kawan dan siapa lawan kecuali satu yang mereka pahami, musuh mereka adalah tentara persemakmuran Inggris raya.
"Selama menunggu pulang, bapak tinggal di atas gunung dubs?" tanya saya.
"Iya, tempat yang bagus untuk melihat kapal-kapal dimalam hari. Suatu saat nanti bapak ingin melihatnya lagi, ingin kembali kesana!" kala bapak bercerita tentang gunung dubs, saya tak pernah tahu seperti apa gerangan tempat itu.
Beberapa tahun setelah bapak berpulang, secara kebetulan saya berkesempatan mengunjung gunung dubs karena urusan pekerjaan dan  hanya mampu mengingat namanya tanpa bisa mengajak bapak untuk mengenang masa-masa penantiannya kembali ke Jakarta di tahun 1965.
Peristiwa G-30S/PKI mengaburkan arti perjuangan ribuan pasukan komando di perbatasan. Mereka tak tahu apa itu politik, namun di pusat para petualang sipil dan militer sibuk mencari kekuasaan dengan cara  memanfaatkan senjata serta pasukan yang bergerak semata mentaati perintah atasannya masing-masing.
Dari itu semua, kebenaran alur peristiwa pemberontakan G30S/PKI tetap hanya saya dapatkan dari versi sang pemenang percaturan Politik dalam negeri dan tidak dari sumber yang bebas dari unsur politik yang mengalaminya langsung.
Sebuah film tentang peristiwa ini dibuat dengan segala dramanya, Pada jamannya, semua siswa siswi sekolah diwajibkan menyaksikannya. Banyak yang meributkan dan saya dengan segala keterbatasan pengetahuan tentangnya hanya menganggap film ini adalah seperti menonton film Rambo saja karena sejarah selalu ditulis oleh sang pemenang. Â
Lantas Kenapa sekedar melihat film mesti dilarang atau sebaliknya juga kenapa mesti memaksa orang untuk menonton?.
Itulah Indonesia, negeri yang tabiat rakyatnya dengan mudah dibentuk oleh produser dan sutradara.
-From the desk of Aryadi Noersaid-