Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Impian Bintang Lima - Catatan Tepi

27 Agustus 2020   22:24 Diperbarui: 27 Agustus 2020   22:12 86 7
IMPIAN BINTANG LIMA - CATATAN TEPI

Restoran. Tempat itu adalah tempat yang mewah bagi masa kecil saya. Tak sekalipun saya mengunjungi tempat ini atas nama penghematan.

Masakan ibu  adalah menu sehari-hari kami dengan aneka olahan bahan sederhana yang bervariasi, meski begitu hidup sudah terasa indah.

Tak ada rumus kekurangan makan bagi anak-anak tentara tetapi mengunjungi sebuah restoran untuk sekedar makan diluar dari yang biasa kami makan adalah prioritas paling akhir yang tak pernah terlaksana. Warung sate Pak Gumin adalah rekreasi kuliner yang paling paripurna saat itu, gulainya yang enak sesekali kami rasakan ketika uang Lauk Pauk telah singgah ke kantung ibu di tengah bulan.

"Nggak sekali-sekali kita makan di restoran bu? Seperti yang kulihat dikoran-koran  dan majalah?" saya pernah sesekali mengusik ibu dengan pertanyaan itu, tetapi ibu cuma tersenyum sambil memandang dengan helaan nafas panjangnya.

"Cita-cita kamu selalu tinggi, pikiran khayalmu selalu diatas yang lain, Ibu berdoa kamu bisa makan ditempat-tempat itu kalau besar nanti. Sekolah yang pintar, mengaji yang rajin!" sahut ibu.

Saya lantas membayangkan, sebuah terminal di Jakarta bernama Lapangan Banteng saat bapak suatu kali mengajak singgah dalam perjalanan hendak berbelanja onderdil mobil dinas kantor di Planet Senen yang dihadapannya berdiri sebuah hotel megah bernama Borobudur. Spanduk bertuliskan promosi untuk sebuah restoran didalamnya yang kini bernama Bogor caf menantang imaginasi saya yang baru saja mengerti sebuah tulisan: 'SOP BUNTUT BOROBUDUR'

Saya lantas bertanya pada seorang lelaki muda keponakan bapak dikedua kali kedatangannya saat malam minggu ke rumah bercerita bahwa ia bekerja disebuah hotel di Jakarta.

"Mas Rahwono, kerja di hotel ya? Di Borobudur?" tanya saya

"Iya, tapi bukan di Borobudur, di Hotel President," jawabnya

"Di restorannya?"

"Iya,"

"Enak Makanannya?"

"Ya enak,"

"Mas disana ngapain?"

"Bantu koki, kenapa memang?"

Ibu muncul dari belakang dan bilang pada Mas Rahwono bahwa saya begitu ingin makan makanan dari restoran besar bintang lima.

"Haha..kalo begitu nanti mas bawakan makanan dari sana. Bukan sisa tapi nanti mas Rahwono bungkuskan minggu depan, ya..," janji Mas Rahwono pada saya

"Apa boleh bawa makanan keluar Rah...nanti kamu dikira nyuri!" sergah ibu.

"Nggak bulik, itu boleh kok untuk makan malam sendiri dibawa pulang," jawab Mas Rahwono

Aku berbinar beharap mendapatkan makanan serupa Sop buntut dari restoran bintang lima. Bangunan yang megah, koki yang bertopi putih panjang seperti di majalah pasti menghasilkan makanan yang tak pernah saya rasakan. Seminggu saya merasa lama sekali berlalu, berharap Mas Rahwono datang kembali mengunjungi kami.

Seminggu kemudian Mas Rahwono datang, seperti biasa dimalam minggu. Dari kedua tangannya tergenggam dua kotak putih yang ia jinjing dan memberikannya kepada saya satu dan satu lagi kepada bapak yang menyambutnya.

"Ini makanan restoran, sesuai janji. Tapi bukan Sop buntut borobudur..coba ya!" Mas Rahwono mengusap kepala saya. Adik dan kakak yang lain menyambut gembira. Saya membawanya kedalam rumah lalu ibu menghidangkan dua kotak itu kedalam satu wadah.

"Apa ini Rah?" tanya ibu.

"Gado-gado bulik, gado gado restoran sesuai permintaan si Didi,"

Saya tak sabar gado-gado itu mampir ke piring yang siap dihidangkan. Meskipun bukan sop buntut dan meskipun gado-gado adalah makanan yang sering saya makan dari warung 'Mbah endog' ditepi jalan Bhakti, tetapi malam itu gado-gado dari retoran Hotel President begitu menggoda selera.

"Ini, makan..ibu kasih kamu yang paling banyak dari yang lain!" seru ibu. Saya bergegas ke teras dan duduk bersila dihadapan piring berisi gado-gado. Bumbunya  tak merah kecoklatan seperti layaknya gado-gado biasa, bumbunya bertekstur lebih halus. Saya menyuap dengan semangat.

Satu suapan masuk kedalam mulut dan lidah mengecap dengan antusias. Astaga.. saya tak menemukan sebuah sensasi. Tak saya temukan rasa pedas atau tekstur kacang tanah bergranul. Hambar, aneh dan tak berkorelasi dengan rasa gado-gado umumnya. Saya berhenti menyuap, mencoba menelan yang ada didalam mulut lalu memejamkan mata ketika gado-gado hambar itu masuk melewati kerongkongan.

"Gimana enak?" tanya bapak, ibu dan mas Rahwono yang menunggu. Saya meletakkan piring kelantai, berlari ke belakang, berusaha menemukan kendi tanah liat tempat ibu biasa menaruh air minum dan menenggaknya dengan cepat agar gado-gado didalam kerongkongan cepat lewat.

Gado-gado dimalam itu, dari restoran bintang lima bukanlah lagi sebuah impian  bagi saya. Gado-gado 'mbah ndog' ditepi kebun di Jalan Bhakti jauh lebih nikmat dari gado-gado tempat makan yang menyandang bintang lima.

Saya melupakan iklan sop buntut bogor caf Hotel Borobudur sejak itu hingga berpuluh-puluh tahun kemudian  menyantapnya secara langsung dan  berkesimpulan jangan pernah pesan gado-gado di restoran bintang lima.

"Urip iku mung sawang sinawang mula aja mung nyawang sing kesawang!" nasehat bapak pada kami ketika itu.

-From the desk of Aryadi Noersaid-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun