"Kenapa harus sekolah petang pak, bu?" tanya saya ketika bapak dan ibu menyebut hampir keseluruhan sekolah yang ditawarkan adalah sekolah siang hari yang dimulai pukul dua belas tiga puluh tengah hari.
"Kamu harus ikut sekolah Diniyah selesai subuh. Mengaji di  Pesantren kecil di masjid Al-Jannatin. Biar kamu tidak bandel dan bisa mengikuti tuntunan agama kamu!" perintah ibu. "Jadi kamu tetap harus bangun pagi untuk ke Pesantren kecil itu, setelahnya pukul sembilan kamu istirahat dan baru ke sekolah jam dua belas siang!"
Masjid al-Janatin terletak beberapa kilometer dari rumah kami. Masjid itu dinamakan Jannatin untuk mengingat nama rekan bapak di kesatuan KKO, seorang pahlawan Dwikora Usman Jannatin yang berhasil menyusup ke negeri Temasek Singapura dan  meledakkan gedung pemerintah Singapura saat konfrontasi.
 Ia bersama koleganya sesama anggota pasukan KKO bernama Harun tertangkap karena perahu penyelamat mereka mogok ditengah jalan saat dilakukan pengejaran oleh tentara Singapura. Hidupnya berakhir di tiang gantungan atas perintah pengadilan Commonwealth Singapura setelah upaya pemerintah Orde lama maupun orde baru untuk menyelamatkan mereka kalah oleh ketegasan pemerintah Singapura dan sekutunya.
Saya menerima keputusan bersekolah petang dengan biasa saja dan memilih menghabiskan waktu bersama Meri sang bebek kesayangan menelusuri selokan demi selokan agar ia bisa memakan cacing dari sana.
Meri adalah bebek kecil yang belum memiliki sayap yang sempurna. Untuk naik dan turun ia harus dibantu agar tak terjerembab kedalam selokan. Cara dia menyantap ketika bertemu cacing sungguh menggemaskan dan saya sepanjang jalan mengajaknya berbicara selayaknya dengan teman bermain.
Hari-hari berlalu tubuh Meri lumayan membesar dan sedikit banyak kedua kakinya  sudah mampu menopang tubuhnya untuk berdiri seimbang. Sayapun tak lagi perlu mengiringinya secara berdekatan dan cukup memperhatikannya dari jauh ketika ia sibuk mencari makanan. Jika waktu menjelang senja saya akan berteriak memanggil namanya dengan keras berkali-kali membentuk  irama yang teratur dan nyaris dihafalnya.
Bebek kecil itu akan berlari mendekat meskipun jaraknya tujuh puluh atau seratus meter dari saya berada, ekornya yang bergoyang kekanan dan kekiri  sangat lucu dilihat dan ia akan mengiringi langkah saya untuk pulang ke rumah dengan sesekali berlari menyilang dari kaki kiri ke kaki kanan seperti mengajak bermain.
Setiba di samping rumah saya akan mengguyur tubuhnya dengan dua ciduk air bersih dan membiarkannya masuk kedalam kandang untuk kemudian beristirahat setelah saya menutup pintu kandangnya dengan sebuah bilah genting rumah dari tanah liat. Telur bebek berwarna hijau masih teronggok dibalik kain perca, sesekali saya hanya mengintipnya berharap ada retakkan pada cangkangnya dan muncul seekor bebek lain selain Meri, tetapi hal itu tak kunjung terjadi.
"Bu..berapa hari sampai telur bebek bisa menetas?" tanya saya disela rutinitas ibu yang tengah mengangkati pakaian dari tali jemuran. Ibu meletakkannya di  bak pakaian  menjelang kumandang azan maghrib dari masjid kampung sebelah.
"Taruh saja telur itu di dalam ember sabun milik ibu, nanti juga langsung netas sendiri!" ada nada sindiran dari ibu menjawab pertanyaan saya.
Saya perlahan lengser menjauh dan menggeser tubuh untuk hilang ke siku tembok depan rumah. Nampaknya Ibu belum move on dengan tempat sabunnya yang saya curi tetapi ia tak pernah meluapkan amarahnya hanya saja saya memahami ketika nada suaranya tak lagi biasa.
Didepan rumah, bapak terlihat duduk di depan bakal pohon jambu air, raut wajahnya agak terlihat kecewa. Ditangannya satu buku cetak sederhana mengenai kesatuan KKO, pasukan yang dibanggakannya, terbentang didaun tangannya. Saya tak memahami karena belumlah memahami arti sebuah tulisan.
"Mulai tahun ini, tidak ada lagi nama KKO-AL. Sekarang berubah menjadi Korps Marinir. Sudomo sontoloyo..!" bapak meremas majalah itu, kekecewaannya berbekas pada lekukan kertas majalah.
Kelak baru saya mengerti ketika lambang KKO AL setingkat panji berjuluk 'Unggul Joyo' yang mencerminkan kesatuan dibawah presiden langsung telah diubah menjadi lambang Korps Marinir setingkat pataka yang mencerminkan degradasi kesatuan dibawah seorang mentri sekaligus panglima ABRI.
Perubahan ini mengecewakan ribuan pasukan KKO-AL termasuk bapak namun Negara adalah kepentingan yang utama. Semangat mereka tak lekang oleh kebijakan politik. Tatkala Negara memanggil untuk berbakti tak ada kata menolak untuk membelanya. Timor-timur menjadi bukti betapa nyawa demikian banyak pasukan ini telah korbankan untuk sebuah  kepentingan yang hingga sekarang tak dimengerti.
-From the desk of Aryadi Noersaid-