Kegemaran saya sejak kecil adalah menjelajah alam. Dibelakang rumah kami terhampar tambak ikan yang dipisahkan oleh sungai kecil dengan sebilah papan yang melintang untuk tempat orang melintas sebagai jembatan.
Tambak-tambak itu berisi ikan Mujair dan Mas dimana ketika panen tiba ditengah musim kemarau kepakan siripnya karena menggelepar saat air di buat surut terasa indah ditelinga, suaranya menaikkan adrenalin dan ketika diangkat senyum para petambak mengembang setara dengan seberapa besar ikan yang terangkat.
Masa-masa panen ikan adalah masa dimana saya melihat uang berseliweran dari tangan ke tangan. Pembeli menjemput ikan langsung ke Tambak sehingga pembayaran di tempat menjadi pemandangan yang umum.
"Pemilik Ikan itu orang kaya ya pak, uangnya banyak?" tanya saya suatu kali kepada bapak
"Ya nggak juga, mereka juga bisa gagal panen, terus nggak dapat apa-apa. Nggak semudah itu jadi orang kaya," sahut bapak, saya kecil memang banyak bertanya, mirip Temon kecil di film Serangan Fajar.
Melihat ikan dipanen, mendengar gelepar ikan saat kehilangan habitat airnya dan bunyi denting timbangan serta arus uang mengalir dari tangan ke tangan mengisi hari-hari penantian saya untuk masuk sekolah dasar.
Diteriknya kemarau saya meninggalkan tambak yang masih ramai. Panasnya hari itu saya lawan dengan mengunyah dua buah pisang lalu berkeliling rumah untuk kemudian mencuci kaki dan tangan di sumur belakang.
Meski memiliki adik  dan kakak lelaki satu rumah, sangat jarang kami bermain bersama. Kegemaran berbeda menghalangi kami untuk memainkan permainan yang sama terlebih adik lelaki saya. Dia memiliki kegemaran berjalan dengan bokongnya, menyeret tubuhnya  untuk beringsut dari satu tempat ketempat lainnya. Ibu kerap geleng kepala melihatnya padahal ia mampu untuk berjalan dengan kedua kakinya tetapi begitulah ia melewati hari-hari bermainnya.
Ketika saya mengunyah pisang dan menuju sumur, kami berpapasan dimana adik saya bergerak beringsut dengan bokongnya di teras  depan rumah tetangga yang lebih tinggi satu meter dari permukan tanah. Ia nampak ceria dan memanggil-manggil mengajak bermain bersama.
"Ogah..kamu ngesot sendiri aja!" begitu biasanya saya menolaknya bermain.
Angin kering mendera siang itu dan saya memilih beranjak ke tempat tidur untuk tidur siang. Ibu entah dimana, mata saya merapat memimpikan kembali uang berlimpah seperti yang terlihat saat panen ikan tadi di Tambak. Sesaat saya jatuh tertidur dengan buaian mimpi memiliki tambak.
Sayup-sayup dalam tidur saya mendengar suara gemercik air, makin kencang, gelepar ikan mas dan mujair terasa mendekati telinga, begitu kerasnya. Saya girang bukan main, mendadak melompat menyambutnya, berlari keluar dari kamar berharap puluhan ikan tak lama akan berada ditangan saya, uang yang banyak, senyum yang lebar..ya Tuhan Terima kasih.
Saya memburu kecipak air itu, keluar dari rumah, memburu dengan senangnya, berlari lalu mendapati kubangan sampah dihalaman samping yang mesti kemarau masih berisi air sisa musim penghujan.
"Ikan..Ikan..aku dapat ikan, ada mujair lepas..mujair lepas...ikan mas  lepas..Bapak..Ibu aku dapat ikan!" mata saya tak lepas dari lubang kolam itu dan mendekati dengan riang berteriak kencang. Ibu tiba-tiba berlari dari belakang, sebagian tetangga bangkit dari saat tidur siang mereka mendengar lengkingan suara. Kolam air itu terus bergolak namun perlahan melemah. Dalam sekejap ikan itu diraih dengan cepat oleh seorang pria yang datang, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu meletakkannya ke samping kolam.
Ibu menjerit, saya terbelalak, tubuh Gondo Saksono adik lelaki saya terbatuk kencang saat kakinya diangkat keatas , air mengalir deras dari mulutnya. Ikan itu tak lain tak bukan adalah adik lelaki saya sendiri, ia menggelinding deras ketika asik menyeret bokongnya di teras tetangga yang lebih tinggi. Lantai yang licin menggelincirkannya entah bagaimana.
Usai pertolongan diberikan  perlahan Gondo pulih kesadarannya lalu menangis  keras. Saya teringat kalimat dari mulut saya yang
hingga kini masih terngiang.
"Kila Kilain Ikan...Nggak taunya Gondooo!"
Gagal saya mendapat uang dari ikan impian dihari itu, tetapi mampu menyelamatkan nyawa adik lelaki satu-satunya melalui mimpi.
-From the desk of Aryadi Noersaid-