Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Pilihan

Dua Sisi, Dua Ibu

12 Mei 2014   19:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 230 2

Dua dari banyak tugas yang begitu akrab pada masa kecil saya adalah mengantar pakaian jahitan ibu untuk Neci dan Obras. Mesin Neci dan Obras yang terlihat unik ketika di operasikan selalu menjadikan saya berharap agar ibu suatu saat bisa memilikinya dan saya tak harus mengayuh sepeda pergi kerumah Ibu Sodiran hanya untuk melakukan dua pekerjaan tersebut.

“Kenapa ibu tidak berusaha beli mesin Neci dan Obras, aku lihat begitu banyak pesanan yang bertumpuk di rumah Ibu Sodiran. Dia pasti banyak uang karena usahanya lumayan maju?” saya bertanya pada ibu ketika usai mengantar tiga pakaian yang selesai dikerjakan di tempat ibu Sodiran dengan peluh yang deras.

“Ibu tidak seberuntung beliau, meskipun sama-sama istri tentara yang kerap ditinggal suami beliau lebih gigih mencari peluang. Kamu doakan saja, atau paling tidak ibu bisa berharap kamu tahu bahwa nasib orang itu tidak ada yang sama. Semoga Allah memberikan kamu nasib yang baik kelak!” Ibu selalu menutup pendapat yang ia ungkapkan dengan doa bagi anak-anak dan orang lain yang meminta pendapatnya.

Ibu Sodiran mampu memperkerjakan dua pegawai di kios obras di samping rumahnya, sedang ibu menggerakkan putaran mesin jahit dengan kedua telapak kakinya. Mungkin Ibu betul, tak ada orang yang memiliki nasib yang sama dan itu mengapa ia tak hiraukan ketertinggalannya, namun ada sesuatu yang berbeda dari dua ibu yang sama-sama terbebani anak dan keluarga yang harus diasuhnya, tanpa didampingi suami yang harus bertugas di luar pulau sebagai tentara. Ibu sodiran nampak begitu gigih dan sulit sekali merasa nyaman, ditandai dengan keluhannya pada pegawai yang bekerja padanya. Ia nampak selalu khawatir pekerjaan tak akan terselesaikan ketika melihat setumpuk pesanan di atas meja beralas taplak bermotif bunga. Ia sering sekali mendesak dua pegawainya untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dengan rentetan ungkapan kekhawatirannya. Sedang Ibu, ia perempuan yang kerap menggeleng ketika datang pesanan menjahit dari orang yang tandang ke rumah, meski begitu irama kayuhan ibu terasa indah di malam hari namun menyayat hati ketika diselingi batuknya yang timbul karena lupa meneguk air putih saking sibuknya.

“Saya tidak bisa mengerjakan pakaian lebih dari empat potong dalam satu minggu, jadi maaf mbakyu daripada mengecewakan lebih baik ke tempat lain saja,” ibu selalu menolak dengan ungkapan yang sama pada setiap orang yang terpaksa ia kecewakan. Tetapi lebih banyak pemesan jahitan ibu rela menunggu pakaiannya dijahit minggu berikutnya sampai ibu menyanggupinya.

Jika saya datang mengantar pakaian untuk di obras, Ibu sodiran sering sekilas tersenyum pada saya ketika menerima pesanan dari Ibu. Karena ia mengenal ibu dengan baik, tak jarang ia meminta dua pegawainya mengerjakan pakaian dari genggaman saya lebih dahulu, lalu ia pergi meninggalkan rumah sekaligus kiosnya. Dua irama mesin yang berbeda, satu bertenaga mesin dan satunya bertenaga manusia, memberikan nuansa pada hasil yang ada. Rumah ibu sodiran lebih nampak berwarna di banding rumah kami yang berjarak tiga blok, juga beberapa hal yang tak kami miliki nampak dimiliki oleh ibu sodiran. Meskipun demikian ibu dengan nasehatnya tak memberi kesempatan pada saya untuk terbersit rasa kecewa pada apa yang dimiliki. Kami hidup tak mencukupi dengan baik namun semua kami nikmati dengan amat baik.

Masa tugas tentara memang menyesakkan bagi anak dan istri mereka, kadang berita kepulangan harus terevisi terus menerus karena keadaan yang sulit diduga. Hingga satu bulan menjelang satu batalyon hendak menyelesaikan tugas, tak ada satupun yang bisa memastikan apakah berita itu betul adanya sampai berita itu betul terpastikan satu minggu sebelum kedatangan pasukan. Meski ayah ketika itu tak sedang bertugas, saya ikut larut dalam kegembiraan teman-teman yang lain.

Satu pagi ibu kembali meminta saya untuk mengantar pakaian ke rumah Ibu sodiran dan saya mengayuh sepeda dengan cepat, karena biasanya ibu tak jarang memberi saya sedikit uang jajan untuk sekedar membeli makanan di warung sebagai upah. Ketika menggeser kemudi sepeda dipertigaan tempat tujuan, suara tangis membahana. Saya melihat kerumunan orang dengan wajah yang terkejut dan tampak tak percaya. Saya menghentikan laju sepeda dengan rem torpedonya dan menghempaskannya ke tanah ketika mendengar seorang perempuan berlari menjauh dan berteriak: “ Ibu Sodiran Mati bunuh diri..Ibu sodiran Mati Bunuh Diri!”.

Mendengar kalimat bunuh diri memberikan kengerian pada hati saya, saya membalikkan sepeda dan pergi menjauh. Kala itu ibu dan ayah selalu bilang bahwa kematian akibat bunuh diri menyisakan kengerian pada semua orang, dibumbui dengan cerita teman-teman kecil yang mengatakan kematian itu akan memunculkan hantu yang bergentayangan. Saya mengayuh sepeda dan mengabarkan pada ibu ketika tiba dirumah. Ibu terduduk kaget dan mengucapkan “ Innalillahi Wa inaillaihi Rojiun” lalu ia bergegas mengambil kerudung dan menyambangi setiap rumah tetangga untuk mengajak segera ke rumah Ibu Sodiran.

Saya menutup kuping rapat-rapat, dan tak ingin mendengar cerita itu lebih lanjut karena kengerian saya pada peristiwa bunuh diri. Hari itu meski belum tiba jadwal jam sekolah, saya memilih pergi dan mendatangi sekolah lebih awal. Terbayang senyum ibu sodiran yang entah mengapa membuat saya kian ngeri mengingatnya. Dua malam saya tak ingin mendengar dari ibu meski tahu bahwa ibu ingin sekali bercerita tentang peristiwa itu.

“Apa yang terjadi dengan Ibu Sodiran, apakah betul beliau bunuh diri?” tanya saya spontan ditengah menemani ibu yang tengah mengayuh mesin jahitnya.

“Kamu sudah berani untuk mendengarnya, ibu lihat kamu sedemikian takutnya?” ibu memandang saya untuk memastikan, saya mengangguk pelan.

“Ya..sepuluh butir tablet bodrex merenggut nyawanya, sayang sekali beliau sampai berbuat itu,” ibu menggeleng tak mengerti, saya tetap terpaku tak bersuara, sekali lagi kematian akibat bunuh diri memang begitu menghantui saya bila mendengarnya kala itu.

“Kamu tahu mengapa beliau berbuat itu, apakah hidup beliau lebih sulit dari hidup kita?” tanya ibu. Saya kembali menggeleng tetap terdiam.

“Lalu kenapa beliau berbuat itu?” jawab saya dengan pertanyaan.

Ibu melanjutkan kayuhan pada mesin jahitnya dan menyelesaikan beberapa potong agar tersambung sempurna, lalu ia menepis pakaian itu dan meletakkannya di lembar papan sebelah kanan mesin jahit. Ia bercerita bahwa sebentar lagi Pak Sodiran pulang dari tugasnya, kepulangan yang berbarengan dengan para kepala keluarga lainnya biasanya disambut dengan kebahagiaan luar biasa namun tidak bagi Ibu Sodiran. Kehidupannya nampak begitu baik tetapi dibalik itu tersimpan persoalan yang tak seorangpun mengiranya.

“Beliau takut bertemu suaminya” tutur ibu

“Takut?” sergahku.

“Ya, beliau takut Pak sodiran akan marah besar karena selama ini ia memiliki hutang yang tak sanggup ia bayar, entah hutang apa tetapi yang pasti hutang itu tentu akan dipertanyakan, dan beliau tak sanggup untuk menghadapinya. Beliau memilih mengakhiri hidupnya agar tak bertemu dengan suaminya, tak berani bercerita apa yang dialaminya. Hidupnya nampak lebih baik dari kita semua disini tetapi itulah rahasia masing-masing orang!” ibu menatap saya yang tengah tertegun.

“Pesan ibu, syukurilah apa yang kamu miliki dan tegarlah pada kekurangan yang kamu hadapi!”

Beberapa hari kemudian Pak Sodiran jatuh lunglai dimuka rumah, atas kepentingan dinas berita itu baru ia terima ketika kakinya menjejak bumi Jakarta. Kegagahannya yang terbentuk dalam kehidupan daerah konflik di hutan dan kota-kota yang mencekam, luluh pada kenyataan bahwa ia kehilangan istrinya hanya karena persoalan yang mungkin menurutnya bisa ia pahami dan maafkan. Hanya pelukan anak-anak yang masih kecil menyambutnya dengan tangis pilu seolah hendak mengadu pada ayahnya atas kehilangan sosok yang tak semestinya terjadi.

Tuhan menciptakan manusia pada tugasnya masing-masing, sementara orang lain terpaksa bertugas di medan perang untuk mempertahankan kehidupan, tetapi ada sebagian lain yang tak berani kemedan laga dan menyia-nyiakan kehidupan. Sampai kini, peristiwa bunuh diri masih merupakan peristiwa yang membersitkan ngilu, apapun alasan yang diambil oleh orang yang melakukannya. Tangis seorang tentara yang gagah berani beserta anak-anaknya memberi pelajaran bahwa hidup tak semestinya disia-siakan begitu dan bahagia tak semestinya dilihat dari apa yang seseorang miliki melainkan dari bagaimana seseorang mensyukuri apa yang dimiliki.

From the desk of Aryadi Noersaid

Tweet @aryadinoersaid

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun