Mohon tunggu...
KOMENTAR
Gaya Hidup Pilihan

Bertemu Malaikat Seharga Tiga Puluh Ribu

21 Juli 2014   18:01 Diperbarui: 28 Januari 2016   16:19 1564 22

Bulir air nampak berpendar diatas rel yang menjulur lurus kearah stasiun tugu yogyakarta, embun membulir di papan-papan kayu sepanjang palang pintu ketika saya tak sengaja mengusapnya saat menyeberangi perlintasan kereta. Subuh mulai menghangat karena langkah kaki saya membakar kalori tubuh yang belebih usai makan sahur.

 

Diujung jalan sosrowijayan, becak berwarna hijau merapat pada tembok sebuah toko tua. Angin pagi menghembus menerpa lonceng yang tersusun dari beberapa plat besi tipis yang tergantung diantara pedal dan as roda di kursi depan. Bunyinya berdenting ditengah sunyi jalan Malioboro. Udara yogya terhirup dengan segar bercampur antara wewangian serupa dupa entah datang dari mana.

 

“Pak, saya mau naik becaknya boleh?” saya menjawil pelan berharap sosok yang tengah meringkuk dalam bak kursi depan tidak terkejut dibuatnya. Lelaki tua berkulit tak terawat mengusap kedua mata dengan punggung tangannya. Ia menatap saya beberapa lama seolah menepis mimpi yang baru di bangun dalam tidur beratap langit Yogyakarta. “Maaf kalau mengganggu,” senyum saya padanya.

 

Ia menggeleng dan bertanya kemana arah tujuan. Saya mengeluarkan uang sebanyak tiga puluh ribu rupiah dan menawarkan padanya untuk membawa saya kemana saja mengelilingi kota Yogya dan kembali ke tempat kami bertemu, diujung jalan sosrowijayan di tepi Malioboro. “Saya cuma mau jalan-jalan subuh mengelilingi yogya, dan bapak yang tentukan kemana saja harus berjalan sesuai dengan besar uang yang saya tawarkan, lalu kita akan kembali ke tempat ini lagi.” dahinya berkerut usai saya mengucapkan kalimat tersebut. Dengan logat jawanya yang kental ia mengungkapkan tak tahu harus kemana, karena takut membuat saya kecewa.

 

“Bilang saja mau kemana nanti saya antarkan, saya takut kalau dibawa keliling semau saya nanti tidak sesuai dengan apa yang Mas bayarkan!” ia menggugat dengan halus dalam sisa kantuk yang belum sepenuhnya hilang.

 

“Nggak pak, kemanapun bapak ajak saya dengan uang ini, saya nggak akan marah. Saya tidak paham kota Yogya dan tidak punya tujuan kemana-mana selain mau melihat kota dipagi yang sepi seperti ini,” jawab saya. Bapak penarik becak masih duduk dalam kursi hijaunya, ia menjulurkan tubuhnya kedepan dan lama berpikir untuk memutuskan kemana kami akan berjalan.

“Sudah siap pak?” tanya saya mengejutkannya. Ia turun dari kursi depan dan mempersilahkan saya duduk dikursi setelah ia mengusap kursi yang semula menjadi tempat tidurnya dengan handuk yang melingkar dileher. Becak bergerak menuju kearah selatan menyusuri jalan Malioboro.

 

Udara sejuk menerpa dari depan, desirnya terasa syahdu diantara deretan bangunan tua yang satu persatu mulai mematikan lampu di berandanya masing-masing. Kumpulan perempuan tua berjalan beriringan menuju pasar Bringharjo dengan setumpuk gendongan dipunggung seolah berharap ada orang yang nantinya akan memerlukan jualan mereka itu. Sambil sesekali terpejam saya menikmati laju becak dengan mendengar suara pedal yang terkayuh dan gesekan halus karet bundar ban becak dengan lapisan aspal yang sesekali menghantam lubang-lubang kecil di jalan. Keindahan itu terganjal dengan suara nafas tersengal dari arah belakang, suara bapak penarik becak yang menatap kedepan memperhatikan arah jalan.

 

“Capek pak?” tanya saya. Ia menjawab dengan keras: “Mboteen..sudah biasa!”. Sementara becak melintasi benteng Vredebeurg dan berbelok ke kiri meluncur dengan kecepatan sedang. Sengal nafas mulai mengganggu ketika jalan menanjak di jalan yang sejajar dengan Malioboro, dibelakang benteng. Saya meminta becak berhenti dan melompat dari kursi becak.

“Benar nggak capek?” tanya saya lagi. Penarik becak menggeleng dalam peluhnya yang menetes.

“Ndak Mas..sudah biasa, mungkin karena puasa.” Jawabnya.

“Bapak Puasa?”

“Iya” jawabnya

“Tadi sempat sahur?” ia menggeleng mendengar pertanyaan saya.

“Kenapa nggak bilang!” tegur saya.

“Kenapa mesti bilang?, Saya puasa untuk saya sendiri dan ndak untuk orang lain tahu!” ujarnya datar.

“Kalau tahu begitu kan saya nggak akan minta bapak antar saya berkeliling,”

 “Terus, saya dapat rejeki dari mana kalau Mas ndak mau pakai becak saya karena puasa!”

“Ya..paling nggak saya cukup kasih bapak saja, nggak usah pakai berkeliling,” tukas saya.

“Jadi sama seperti pengemis, dikasihani lalu dikasih uang, ndak perlu berbuat apa-apa,” jawab penarik becak dalam logat jawanya yang kental. Saya tersentak mendengar jawabannya.

“Lantas untuk apa bapak puasa sementara bapak merasakan lapar setiap hari, terutama kalau belum dapat penumpang?” tanya saya. Ia terdiam, berpikir sejenak.

“Yaaa..mungkin untuk sebuah janji, janji untuk siapa saja yang menjalani, Mas sendiri puasa untuk apa, tapi maaf..Mas puasa kan?” tanya penarik becak sedikit ragu.

“Saya juga puasa, tapi mungkin saya sebatas menjalankan kewajiban, kebiasaan sedari kecil, atau mungkin karena semata saya orang Islam jadi harus puasa!” jawab saya gamang.

“Buat saya puasa itu penuh janji, bukan disini tapi nanti, setelah saya mati!”

“Janji apa yang bapak nanti hingga mati nanti?”

“Saya hanya mendengar ini kalau kebetulan shalat di masjid kauman, dari para penceramah yang mengatakan janji yang akan diperoleh untuk orang susah seperti saya adalah balasan untuk ndak kembali susah di akhirat nanti. Mas bayangkan orang-orang yang terbiasa hidup senang ndak akan sebahagia saya untuk mendapatkan uang tiga puluh ribu, begitu juga mereka ndak akan sebahagia saya kalau diakhirat nanti saya diberi tempat yang menyenangkan, karena mereka biasa hidup senang!” .

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun