Berkaitan dengan Megathrust, setidaknya pemberitahuan ini memaksa masyarakat, terutama yang tempat tinggalnya berpotensi terdampak sangat parah, untuk mencaritahu lebih mendalam tentang topik ini. Media juga memainkan peranan sentral, sebab mereka berkali-kali memutar, ataupun memublikasikan, pemberitaan tentang Megathrust ini. Di balik rasa takut yang ditimbulkan, isu ini menjadikan masyarakat menjadi dapat diedukasi tentang potensi bahaya yang berada di sekitar mereka.
Walaupun, utamanya hal ini terjadi di media sosial, tetap ada resistensi yang tidak perlu dari kalangan anonim atau hardcore tidak jelas, yang sebenarnya ini tidaklah diperlukan. Dalam timbangan yang pas, resistensi adalah hal yang tidak dapat dihindari. Namun, tentu lebih baik jika resistensi itu hadir dari lawan pemikiran ataupun kepercayaan yang memiliki dasar. Bukan sekedar resistensi tanpa dasar, sekedar emosional, apalagi sekedar mengait untuk  mencari atensi yang melimpah di ranah maya.
Adapun, berkaitan dengan resistensi yang memiliki dasar kuat tersendiri, hal ini menjadi tanggungjawab bagi pihak media ataupun edukator terkait untuk terus memberikan argumen kontra. Tentu, mereka yang berseberangan harus diupayakan agar bisa menerima posisi yang diakui, dan agar mereka mengikuti langkah-langkah yang telah disepakati di domain yang diakui. Walaupun, konversi 100 persen adalah hal yang mustahil.
Setelah hampir dua abad tidak terjadi apa-apa di Megathrust Mentawai-Siberut dan Selat Sunda, ancaman dari pelepasan energi yang telah dipendam selama itu semakin nyata. Resistensi yang tadi sempat dibicarakan harus segera diatasi, setidaknya meyakinkan orang-orang di sisi resisten, bahwa apapun itu yang namanya mitigasi tetap diutamakan. Hal ini tentu untuk mengurangi potensi korban jiwa berlebih yang tidak diharapkan.
Dalam bahasa salah satu akun edukator mitigasi kebencanaan yang terkenal di media sosial, bahwa menunggu meledaknya dua megathrust adalah sama dengan menunggu dalam ketidakpastian.